PERMASALAHAN PENDIDIKAN
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya tidak meratanya Akses
Pendidikan Bagi Anak-Anak Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti:
1) Meliputi Seluruh Bagian,
2) Tersebar
Kesegala Penjuru, Dan
3) Sama-Sama Memperoleh Jumlah Yang
Sama.
Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan
perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan
pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan
terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat
merasakan pelaksanaan pendidikan.
1. Sumber daya Pengajar dan Kualitas Pengajar
Teringat sebuah tulisan “Tidak ada murid yang bodoh, tetapi mereka
belum menemukan guru yang pintar”. Guru sebagai pendidik dalam
lingkungan sekolah merupakan tokoh utama dalam membentuk anak didik menjadi
sukses dan lulus ujian. Kemerataan guru di daerah merupakan factor utama dalam
penyebaran pendidikan di Indonesia.
Melalui Ujian Nasional Pemeritah dan Pemda
haruslah jujur bahwa didaerah tertentu jumlah tenaga pengajarnya kurang. Baik
kurang secara kualitas maupun kuantitasnya. Baru beberapa tahun ini tahun
ini pemerintah melaui dinas pendidikan memiliki terobosan baru dengan adanya
standarisasi/sertifikasi para pengajar.
2.
Fasilitas Pengajaran
Sering kita
melihat di daerah-daerah yang jauh dari ibukota bahkan pinggiran ibukota dimana
fasilitas pendidikan jauh dari layak.. Dinas pendidikan nasional haruslah
memiliki standar kriteria sekolah itu dinyatakan layak sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran. Pemantauan sekolah-sekolah SMU untuk negeri dan
swasta harus dilakukan secara periode tahunan sebelum periode kelulusan siswa. Untuk melihat kesiapan sekolah dalam melaksanakan proses lembaga pendidikan
dan pengajaran.
3.
Buku acuan
Kualitas
bahan pengajaran dalan hal ini buku pengajaran menjadi peran penting dalam
menentukan kualitas Ujian nasional. Maksudnya adalah
dengan standard buku pengajaran yang minimal semua peserta/ anak didik mampu melalui
standard kelulusan minimum.
Dengan adanya buku pengajaran yang standard diharapkan sekolah-sekolah
kurang mampu yang jauh dari pusat ibu kota mampu bersaing dengan sekolah dengan
fasiltas mewah dan serba lengkap.
4.
Beban pengajaran (Kurikulum)
Memandang
kurikulum yang berubah-ubah seiring kebijakan baru atau pemimpin baru merupakan
factor penyebab turunnya mutu pendidikan Indonesia.
Coba kita
tilik kurikulum untuk anak SMU sekarang, apakah sudah standard atau terlalu
berat bebannya bagi siswa atau pelajar? Bagaimana
kurikulum yang ada sekarang dalam kaitannya untuk mendukung UN, apakah sudah
ada singkronisasi antara mata pelajaran dengan soal yang di ujikan. Hal lagi dengan adanya penerimaan di Perguruan Tinggi dipercepat atau
seleksi awal sebelum UN apakah ini sudah di evaluasi oleh dinas pendidikan.
5.
Standarisasi
Sebagai
regulator dunia pendidikan Dinas Pendidikan harus melakukan peran
fungsinya sebagai regulator untuk melakukan akreditasi SMU tiap tahunnya untuk
mengukur kesipan sekolah dalam menyiapakan Ujian Nasional.Dari sini juga
regulator harus memiliki kewenangan untuk membekukan sekolah dimana secara
evaluasi sekolah itu tidak layak dalam proses belajar mengajar.
Sekolah yang
seluruh anak didiknya tidak lulus perlu menjadi evaluasi oleh dinas pendidikan
dan menjadi warning bagi seluruh staff pengajar dan kepala sekolah untuk
meningkatkan mutunya kalau tahun depan tidak ada perubahan harus ada keputusan
tegas dari regulator untuk menutup sekolah tersebut.
Secara garis
besar dalam gagasan saya Pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan harus
memainkan peran sebagai Regulator dan Development secara penuh dan harus jujur
dalam evaluasi ujian nasional ini bagaimana menetapkan target kelulusan dan
realistas produk pendidikan saat ini.
B.
Faktor
Penyebab Tingginya Angka Putus Sekolah
Anak
putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap
dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap
proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
Berikut beberapa
faktor penyebab anak putus sekolah.
1. Faktor
ekonomi, adalah ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala proses
yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang
tertentu.
2. Faktor
rendahnya atau kurangnya minat anak untuk bersekolah, rendahnya minat anak
dapat disebabkan oleh perhatian orang tua yang kurang, jarak antara tempat
tinggal anak dengan sekolah yang jauh, fasilitas belajar yang kurang, dan
pengaruh lingkungan sekitarnya. Minat yang kurang dapat disebabkan oleh pengaruh
lingkungan misalnya tingkat pendidikan masyarakat rendah yang diikuti oleh
rendahnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan.
3. Faktor
rendahnya perhatian orang tua. Rendahnya perhatian orang tua terhadap anak
dapat disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga atau rendahnya pendapatan
orang tua si anak sehingga perhatian orang tua lebih banyak tercurah pada upaya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
4. Faktor
ketiadaan prasarana sekolah, adalah terkait dengan ketidaktersediaan prasarana
pendidikan berupa gedung sekolah atau alat transportasi dari tempat tinggal
siswa dengan sekolah. Masalah ini sering terjadi di sekolah-sekolah yang berada
di pedesaan, maupun di wilayah pedalaman seperti di hutan. Alat transportasi
yang kurang serta jarak antara rumah dengan sekolah yang cukup jauh.
5. Faktor
fasilitas belajar yang kurang memadai. Fasilitas belajar yang dimaksudkan
adalah fasilitas belajar yang tersedia di sekolah, misalnya perangkat (alat,
bahan, dan media) pembelajaran yang kurang memadai, buku pelajaran kurang
memadai, dan sebagainya. Kebutuhan dan fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa
tidak dapat dipenuhi dapat menyebabkan turunnya minat anak yang pada akhirnya
menyebabkan putus sekolah.
6. Faktor
budaya adalah terkait dengan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Yaitu,
rendahnya kesadaran orang tua atau masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Perilaku masyarakat pedesaan dalam menyekolahkan anaknya lebih banyak
dipengaruhi faktor lingkungan. Mereka beranggapan tanpa bersekolah pun
anak-anak mereka dapat hidup layak seperti anak lainnya yang bersekolah. Oleh
karena di desa jumlah anak yang tidak bersekolah lebih banyak dan mereka dapat
hidup layak maka kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam menentukan masa
depan anaknya. Kendala budaya yang dimaksudkan adalah pandangan masyarakat yang
menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Pandangan banyak anak banyak rezeki membuat
masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang masih usia sekolah
diarahkan untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah.
C.
Faktor
Penyebab Rendahnya Angka Melanjutkan Sekolah
Beberapa faktor yang
menyebabkan rendahnya angka melanjutkan sekolah, yaitu:
1. Faktor Sosial Budaya
Faktor
sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa
persepsi/pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Peserta didik selalu
melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan
salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan
dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul dengan teman-temannya yang
tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan mereka.
2. Faktor Kurangnya Biaya Pendidikan (ekonomi tidak
mampu)
Faktor
ekonomi merupakan faktor penyebab anak tidak melanjutkan sekolah.
Ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan
selama menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang tertentu.
3.
Faktor Kurangnya Tingkat Kesadaran Orang Tua akan Pentingnya
Pendidikan
Faktor ini menunjukkan bahwa
masyarakat kecewa dengan kualitas pendidikan. Masyarakat ‘yang berpikiran
sempit’ memandang bahwa pendidikan formal tidak begitu penting. Asumsi ini
lahir karena masyarakat beranggapan bahwa menyekolahkan anaknya di pendidikan
formal hanya menambah jumlah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh keluaran
para lulusan sekolah lanjutan belum mampu memenuhi dunia kerja.
4.
Faktor Letak Geografis Sekolah
Lokasi
atau letak sekolah merupakan faktor yang mampu menyebabkan anak tidak
melanjutkan sekolah. Jarak yang jauh dengan akses yang sulit merupakan hal-hal
yang harus dipertimbangkan oleh masyarakat untuk bisa menyekolahkan
anak-anaknya. Alat transportasi yang kurang serta jarak antara rumah dengan
sekolah yang cukup jauh. Selain itu juga dengan akses yang dirasa sulit,
keselamatan pun dianggap tidak terjamin.
D. Upaya-upaya
Meningkatkan
Pemerataan dan Akses Pendidikan
Khususnya bagi MI
1. Strategi Meningkatkan Peran Madrasah
Walaupun keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun, masyarakat mengatakan
bahwa sekolahlah yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Maka reformasi sekolah harus
dimulai.
David D Curtis ( 2000 ) mengemukakan bahwa ada 4 strategi
dalam reformasi pendidikan, yaitu akuntabilitas berbasis standar
(standards-based accountability), reformasi sekolah secara menyeluruh (whole
school reform), strategi pasar ( market strategis ), dan pembuatan keputusan yang
bersifat demokratis atau pelimpahan wewenang dalam pembuatan ( shared
decision-making ). 4 strategi tersebut dapat menjadi agenda dan pijakan oleh
pembuat kebijakan untuk melalukan reformasi dan merumuskan kebijakan pendidikan
di Indonesia.
Empat strategi tersebut diatas,
layak untuk dipertimbangkan sebagai pedoman agar madrasah ke depan menjadi
idola bagi orang tua. Madrasah tidak lagi dipandang sebelah mata karena
kekurang layakan dalam segala hal. Namun sebaliknya ke depan madrasah memiliki
nilai plus yakni memiliki plus di segi iman dan takwa serta mampu bersaing di
segi pengembangan ilmu pengetahuan. Strategi yang dapat diterapkan untuk
menjawab tantangan- tantangan yang ada di madrasah antara lain sebagai berikut:
a. Memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya dengan hati yang tulus
b. Meningkatkan kualitas pendidik dan
tenaga kependidikan baik melalui pendidikan formal maupun non formal.
c. Meningkatkan kemampuan manajerial
bagi seluruh warga sekolah.
d. Penetapan sasaran-sasaran harus
didasarkan pada kondisi riil serta memanfaatkan segala potensi yang ada.
e. Berkomunikasi secara baik untuk
kemajuan sekolah. Kunci dari keberhasilah suatu madrasah adalah adanya
komunikasi yang baik antar warga madrasah. Dengan komunikasi yang baik, segala
kelemahan, masukan serta terobosan-terobosan baru akan dapat dengan mudah
didapatkan.
Ada 4 hal realistis yang dapat
diharapkan dari pendidikan agama Islam , yaitu :
1) Pendidikan agama Islam memberikan
wawasan tentang kehidupan secara utuh,
2) Pendidikan agama Islam memfasilitasi
tumbuhnya kesadaran bahwa ilmu itu harus diamalkan tanpa pamrih,
3) Pendidikan agama Islam memberikan
kontribusi dalam membangun karakter, dan
4) Pendidikan agama Islam mengedepankan
aspek universal dari agama.
Secara
umum upaya untuk meningkatkan lembaga pendidikan dijelaskan oleh Teuku
Amiruddin sebagai berikut :
a. Program lembaga pendidikan supaya
lebih terarah kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pengembangan ketrampilan dengan meningkatkan kemampuan untuk menggunakan
berbagai peralatan elektronika.
b. Reorganisasi dan konsolidasi
terhadap pengajar, kurikulum silabi dan fasilitas belajar mengajar dan materi
pembelajaran
c. Peningkatan kemampuan sumber daya
manusia agar yang mengelola lembaga pendidikan bersikap lebih terbuka terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan diperlukan manajemen dalam bidang
pendidikan agar lebih professional.
d. Menciptakan kondisi dan situasi
kampus menjadi “Kampus Idaman” yang menyenangkan sehingga membuat peserta didik
dan alumni menjadi betah dalam mengikuti program-program pendidikan.
e. Kerjasama antar lembaga pendidikan
dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan supaya lebih ditingkatkan dan diperjelas
maknanya sehingga dapat memberikan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh
para peserta didik dan pengajar.
Upaya tersebut adalah merubah
paradigma pendidikan sebagai jalan menuju pencerahan ( enlightenment ). Pencerahan berarti :
1)
cerdas dan matang spiritual, yaitu memiliki pengetahuan yang
benar tentang hakikat asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan
sehingga memiliki filsafat hidup yang bersifat spiritual-metafisis.
2)
cerdas intelektual, yaitu memiliki potensi keilmuan meliputi
penguasaan suatu bidang studi, kreatif, cakap, dan terampil dalam menjalani
kehidupan, sehingga kehidupan ini diliputi dengan sikap ilmiah, sebagai
landasan perkembangan hidup.
3) cerdas emosional, yaitu perilaku
yang senantiasa dikendalikan oleh moral bersyukur, bersabar, dan berikhlas,
sehingga dorongan kearah keserakahan hidup dapat diatasi. Sedangkan masih
berkaitan dengan permasalahan madrasah, A. Malik Fadjar memiliki konsep sebagai
berikut:
a) Perencanaan yang baik dan tepat
b) Adanya kegiatan riset dan
evaluasi.
2. Upaya
Meningkatkan Mutu Madrasah
Sampai saat ini, kondisi sebagian
besar masyarakat kita dalam memandang keberadaan madrasah sepertinya masih
‘jauh di mata sekaligus jauh di hati’. Masyarakat kita masih belum mau
membukakan mamtanya untuk menoleh sebentar ke madrasah, hati meraka pun belum
merasa terpanggil untuk membenahi madrasah. Mengapa?
Terhadap masyarakat pertama kiranya
dapat dimaklumi, karena dalam hal prestasi misalnya, keberadaan madrasah secara
umum masih setingkat di bawah sekolah-sekolah umum.
Sementara masyarakat kedua, yakni
unsur-unsur yang terlibat langsung dalam pengolahan madrasah, juga masih perlu
diasah kreativitasnya dalam membangun dirinya sehingga mampu merubah image
masyarakat.
Rendahnya mutu pendidikan madrasah,
tidak lepas dari rendahnya SDM yang dimiliki madrasah itu sendiri. Hasil temuan
tim Asian Development Bank (Hafiz Abbas, 2000), menyebutkan bahwa banyak
siswa-siswi madrasah berasal dari keluarga petani dan keluarga berstatus
ekonomi rendah. Mereka masuk madrasah karena tidak diterima di sekolah umum
akibat NEM rendah. Motivasi rendah, sikap pasif dalam belajar serta kurangnya
kesadaran pada pendidikan yang berorientasi ke masa depan merupakan kendala
yang dihadapi dunia pendidikan madarasah.
Sementara, minimnya sarana dan
prasarana penunjang pendidikan seperti ruang belajar, perpustakaan dan
laboratorium yang ditunjang dengan rendahnya kualifikasi guru dan kepala
madrasah, merupakan faktor lain penyebab rendahnya prestasi madrasah. Padahal,
rendahnya mutu pendidikan madrasah sedikit-banyak memiliki andil bagi rendahnya
mutu pendidikan nasional.
Terhadap semua persoalan di atas,
solusi yang ditawarkan diantaranya melakukan berbagai upaya yang ditekankan
pada
a.
Peningkatan kinerja kepala madrasah,
b.
Peningkatan profesionalisme guru,
c.
Penambahan kelengkapan sarana dan prasarana serta
d. Pembinaan terhadap siswa, sebagai
arah kebijakan dalam pengembangan dan peningkatan mutu madrasah.
1) Kinerja
Kepala
Nuansa Otonomi Daerah yang digulirkan pemerintah melalui UU
Nomor 22 Tahun 1999, melahirkan kebijakan tentang upaya peningkatan mutu
pendidikan yang dibebankan kepala daerah/sekolah melalui Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Kepala
madrasah, dalam konteks otonomi daerah memiliki peran sentral di dalam
sub-sistem madrasah. Oleh karena itu, upaya peningkatan kinerja kepala madrasah
dilakukan agar: mampu manjalankan fungsinya dalam kegiatan perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan
pengendalian (controlling), sehingga mereka memiliki visi ke depan dalam
meningkatkan mutu madrasah.
Semua
itu akan dapat tercapai manakala kepala madrasah memiliki sifat aktif, kreatif
dan inovatif serta mampu menciptakan suasana kondusif di lingkungan madrasah.
Seorang kepala juga harus mampu mengidentifikasi dan memahami
kekurangan/kelebihan yang dimiliki madrasah serta dituntut untuk memiliki
ide-ide cemerlang dalam membuat terobosan-terobosan baru yang sangat dibutuhkan
dalam membangun madrasah unggul disamping kemampuan dalam merangkul, melobi,
bekerja sama, mengkoordinasikan dan mengarahkan semua komponen madrasah.
Program
peningkatan kinerja kepala madrasah ini dapat dimulai dengan pemberdayaan
Kelompok Kerja Kepala Madrasah (K3M) dengan tujuan meningkatkan profesionalisme
kepala, meningkatkan wawasan keilmuan sehingga memiliki kompetensi yang
dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global dan dalam menjalankan tugas.
Musyawarah dan diskusi diupayakan untuk membangun komunikasi dan sinergi yang
efektif dalam upaya menigkatkan mutu madrasah, melalui sharing ideas and
experince (berbagi ide dan pengalaman) antara para kepala.
2)
Peningkatan Profesionalisme Guru
Persoalan yang dihadapi guru,
terutama menyangkut kesejahteraan yang belum memadai memang harus diakui
berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Tetapi di sisi
lain, tidak sedikit pula guru yang kurang memiliki keahlian memilih metode
mengajar yang sesuai dengan keadaan siswa. Padahal antara kemampuan intelektual
dan kemampuan menguasai metode merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
kedua belah sisi harus sama diperhatikan.
Hasil
temuan laintim Asian Development Bank, menyimpulkan bahwa: cukup banyak guru
madrasah yang tidak berwawasan luas dan tidak memiliki kemampuan metodologi
mengajar yang baik. Akibatnya, mereka kurang memiliki kontribusi efektif dalam
proses belajar mengajar. KBM yang dilaksanakan hanya bersifat monoton dan
membosankan. Guru hanya menjalankan transfer of knowledge (mentransfer
pengetahuan) dengan model pembelajaran delivery system (penghantar) berdiri di
depan kelas untuk mentranfer ilmu pengetahuan.
Mereka
juga tidak mampu tampil sebagai building capacity of students to learn
(membangun kecakapan siswa dalam belajar) seperti yang diharapkan masyarakat.
Di dalam kelas, mereka pun banyak yang bersifat otoriter, memaksakan kehendak
sesuai dengan apa yang dikatakan dan diinginkan, kurang menghargai pendapat
siswa dan lain sebagainya. Bentuk pendidikan seperti ini menurut Ausable tidak
bermakna serta menghilangkan orientasi hidup siswa karena siswa tidak diajarkan
tentang fenomena sekelilingnya. Bahkan Paulo Freire lebih keras lagi
menyebutkannya sebagai bentuk pendidikan yang membelenggu, tidak manusiawi dan
tidak membangun individu belajar.
Guru
profesional menurut Prof. Suryanto Ph. D (2001) akan dapat mengelola
pembelajaran dengan efektif karena memiliki kompetensi yang terkait dengan
iklim belajar di kelas, kemampuan dalam memanage strategi pembelajaran, mampu
memberi umpan balik (feedback) dan memberi penguatan (reinforcement) serta yang
lebih penting lagi adalah memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan
diri.
Kepala
madrasah dalam konteks ini, memegang peran penting dalam melaksanakan fungsinya
sebagai controlling, melalui kegiatan evaluasi dan supervisi secara efektif dan
efesien. Untuk itu, kegiatan supervisi yang dilakukan kepala madrasah,
hendaknya lebih ditekankan kepada pengembangan profesionalisme guru, sehingga
dalam kelas guru tidak tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif serta
tidak mampu menjadi idola bagi siswa-siswinya.
Program
peningkatan profesionalisme guru, dilakukan dengan cara mengikut-sertakan para
guru dalam membagi kegiatan pelatihan, penataran, seminar serta memberdayakan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Melalui MGMP, seorang guru dapat
bertukar pikiran, ide-ide, gagasan dan pengalaman sehingga akan meningkatkan
kemampuan profesionalnya serta dapat menyetarakan kemampuan akademis dan
meningkatkan ketrampilan dalam melaksanakan tugas pembelajaran di kelas.
3) Kelengkapan
Sarana
Usaha meningkatkan mutu madrasah, tidak lepas dari
kelengkapan sarana dan prasarana penunjang KBM seperti: ruang belajar yang
nyaman, ruang ketrampilan dan alat peraga, ruang laboratorium beserta
peralatannya dan ruang perpustakaan dengan buku-buku yang lengkap.
Ruang belajar yang sempit dan pengap akan menjadikan proses belajar mengajar
menjadi tidak nyaman. Guru menjadi tidak betah tinggal di kelas sehingga lebih
sering ‘nongkrong’ di ruang guru. Siswa menjadi semakin ramai dan
lebih suka duduk-duduk di depan kelas karena ditinggal oleh gurunya.
Sehingga
proses yang dilakukan untuk menghilangkan ketidak-tahuan atau memberantas
kebodohan, serta melatih ketrampilan sesuai bakat, minat dan kemampuan yang
merupakan arti madrasah menjadi hilang.
Minimnya sarana dan prasarana yang
dimiliki madrasah, menjadi penyebab kegiatan belajar siswa menjadi tidak
optimal, dan pada akhirnya tujuan peningkatan mutu tidak tercapai.
Untuk
itu seorang kepala diharapkan mampu menjemput bola, mencari dan menggali
informasi/peluang yang datangnya dari berbagai sumber (Depag, Diknas, LSM dan
atau masyarakat) dalam upaya menggali dana bagi usaha melengkapi sarana dan
prasarana sekolah yang dibutuhkan.
Dalam
konteks ini, pengelola madrasah tidak hanya berpangku tangan menanti datangnya
bantuan, mereka harus mampu membuat jejaring (networking) dengan berbagai
pihak, dan mampu berfungsi sebagai jembatan antara pihak madrasah dengan
pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap madrasah (stakeholders).
Dengan menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak terkait seperti: Pemerintah
Kab.Kota, Kementerian Pendidikan, orang tua/wali siswa, masyarakat, LSM dan
kalangan industri (Agus JP, 2001).
4) Pembinaan
Siswa
Pembinaan siswa ini diarahkan pada peningkatan kecerdasan,
kreativitas, minat dan bakat, serta pembinaan sikap, kepribadian dan kedisiplinan yang
dilandasi iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Strategi pembinaan
kesiswaan dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan organisasi kesiswaa,
latihan dasar kepemimpinan siswa, kehiatan ekstra-kulikuler (pramuka, PMR, BTQ,
paskibra, komputer dan ketrampilan lainnya).
Upaya
pembinaan terhadap kehidupan madrasah yang Islami dilakukan dengan cara
menanamkan kebiasaan siswa-siswi membaca/tadarus Al-Qur’an setiap memulai
pelajaran, sholat dhuha dan dhuhur berjama’ah dan berdoa setiap pulang sekolah.
Oleh
karena itu, dalam rangka mempersiapkan peserta didik di masa sekarang dan masa
yang akan datang, perlu kiranya madrasah mengembangkan kurikulum terapan, agar
siswa-siswi mampu ‘mengaji’ dengan fasikh dan benar, berdoa, berceramah agama
dan memimpin doa minimal di lingkungan madrasah. Disamping itu mereka pun cakap
berbahasa Inggris, mampu membetulkan kran yang rusak, menyambung lagi skring
yang putus. Mereka pun melek teknologi dan sadar terhadap kelestarian
lingkungan hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar