Minggu, 03 Januari 2016

PERMASALAHAN PENDIDIKAN



PERMASALAHAN PENDIDIKAN
PEMBAHASAN


A.    Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya tidak meratanya Akses Pendidikan Bagi Anak-Anak Indonesia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti:
1) Meliputi Seluruh Bagian,
2) Tersebar Kesegala Penjuru, Dan
3) Sama-Sama Memperoleh Jumlah Yang Sama.

Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.

1.       Sumber daya Pengajar dan Kualitas Pengajar
Teringat sebuah tulisan Tidak ada murid yang bodoh, tetapi mereka belum menemukan guru yang pintar. Guru sebagai pendidik dalam lingkungan sekolah merupakan tokoh utama dalam membentuk anak didik menjadi sukses dan lulus ujian. Kemerataan guru di daerah merupakan factor utama dalam penyebaran pendidikan di Indonesia.
Melalui Ujian Nasional  Pemeritah dan Pemda haruslah jujur bahwa didaerah tertentu jumlah tenaga pengajarnya kurang. Baik kurang secara kualitas maupun kuantitasnya. Baru beberapa tahun ini  tahun ini pemerintah melaui dinas pendidikan memiliki terobosan baru dengan adanya standarisasi/sertifikasi para pengajar.


2.       Fasilitas Pengajaran
Sering kita melihat di daerah-daerah yang jauh dari ibukota bahkan pinggiran ibukota dimana fasilitas pendidikan jauh dari layak.. Dinas pendidikan nasional haruslah memiliki standar kriteria sekolah itu dinyatakan layak sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran. Pemantauan sekolah-sekolah SMU untuk negeri dan swasta harus dilakukan secara periode tahunan sebelum periode kelulusan siswa. Untuk melihat kesiapan sekolah dalam melaksanakan proses lembaga pendidikan dan pengajaran.

3.      Buku acuan

Kualitas bahan pengajaran dalan hal ini buku pengajaran menjadi peran penting dalam menentukan kualitas Ujian nasional. Maksudnya adalah dengan standard buku pengajaran yang minimal semua peserta/ anak didik mampu melalui standard kelulusan minimum.
Dengan adanya buku pengajaran yang standard diharapkan sekolah-sekolah kurang mampu yang jauh dari pusat ibu kota mampu bersaing dengan sekolah dengan fasiltas mewah dan serba  lengkap.

4.      Beban pengajaran (Kurikulum)

Memandang kurikulum yang berubah-ubah seiring kebijakan baru atau pemimpin baru merupakan factor penyebab turunnya mutu pendidikan Indonesia.
Coba kita tilik kurikulum untuk anak SMU sekarang, apakah sudah standard atau terlalu berat bebannya bagi siswa atau pelajar? Bagaimana kurikulum yang ada sekarang dalam kaitannya untuk mendukung UN, apakah sudah ada singkronisasi antara mata pelajaran dengan soal yang di ujikan. Hal lagi dengan adanya penerimaan di Perguruan Tinggi dipercepat atau seleksi awal sebelum UN apakah ini sudah di evaluasi oleh dinas pendidikan.

5.      Standarisasi

Sebagai regulator dunia pendidikan Dinas Pendidikan  harus melakukan peran fungsinya sebagai regulator untuk melakukan akreditasi SMU tiap tahunnya untuk mengukur kesipan sekolah dalam menyiapakan Ujian Nasional.Dari sini juga regulator harus memiliki kewenangan untuk membekukan sekolah dimana secara evaluasi sekolah itu tidak layak dalam proses belajar mengajar.
Sekolah yang seluruh anak didiknya tidak lulus perlu menjadi evaluasi oleh dinas pendidikan dan menjadi warning bagi seluruh staff pengajar dan kepala sekolah untuk meningkatkan mutunya kalau tahun depan tidak ada perubahan harus ada keputusan tegas dari regulator untuk  menutup sekolah tersebut.
Secara garis besar dalam gagasan saya Pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan harus memainkan peran sebagai Regulator dan Development secara penuh dan harus jujur dalam evaluasi ujian nasional ini bagaimana menetapkan target kelulusan dan realistas produk pendidikan saat ini.

B.     Faktor Penyebab Tingginya Angka Putus Sekolah
Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Berikut beberapa faktor penyebab anak putus sekolah.
1.      Faktor ekonomi, adalah ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang tertentu.

2.      Faktor rendahnya atau kurangnya minat anak untuk bersekolah, rendahnya minat anak dapat disebabkan oleh perhatian orang tua yang kurang, jarak antara tempat tinggal anak dengan sekolah yang jauh, fasilitas belajar yang kurang, dan pengaruh lingkungan sekitarnya. Minat yang kurang dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan misalnya tingkat pendidikan masyarakat rendah yang diikuti oleh rendahnya kesadaran tentang pentingnya pendidikan.


3.      Faktor rendahnya perhatian orang tua. Rendahnya perhatian orang tua terhadap anak dapat disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga atau rendahnya pendapatan orang tua si anak sehingga perhatian orang tua lebih banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

4.      Faktor ketiadaan prasarana sekolah, adalah terkait dengan ketidaktersediaan prasarana pendidikan berupa gedung sekolah atau alat transportasi dari tempat tinggal siswa dengan sekolah. Masalah ini sering terjadi di sekolah-sekolah yang berada di pedesaan, maupun di wilayah pedalaman seperti di hutan. Alat transportasi yang kurang serta jarak antara rumah dengan sekolah yang cukup jauh.


5.      Faktor fasilitas belajar yang kurang memadai. Fasilitas belajar yang dimaksudkan adalah fasilitas belajar yang tersedia di sekolah, misalnya perangkat (alat, bahan, dan media) pembelajaran yang kurang memadai, buku pelajaran kurang memadai, dan sebagainya. Kebutuhan dan fasilitas belajar yang dibutuhkan siswa tidak dapat dipenuhi dapat menyebabkan turunnya minat anak yang pada akhirnya menyebabkan putus sekolah.

6.      Faktor budaya adalah terkait dengan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Yaitu, rendahnya kesadaran orang tua atau masyarakat akan pentingnya pendidikan. Perilaku masyarakat pedesaan dalam menyekolahkan anaknya lebih banyak dipengaruhi faktor lingkungan. Mereka beranggapan tanpa bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak seperti anak lainnya yang bersekolah. Oleh karena di desa jumlah anak yang tidak bersekolah lebih banyak dan mereka dapat hidup layak maka kondisi seperti itu dijadikan landasan dalam menentukan masa depan anaknya. Kendala budaya yang dimaksudkan adalah pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Pandangan banyak anak banyak rezeki membuat masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan anaknya yang masih usia sekolah diarahkan untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah.

C.    Faktor Penyebab Rendahnya Angka Melanjutkan Sekolah
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya angka melanjutkan sekolah, yaitu:
1.      Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa persepsi/pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Peserta didik selalu melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan terpengaruh dengan mereka.


2.      Faktor  Kurangnya Biaya Pendidikan (ekonomi tidak mampu)
Faktor ekonomi merupakan faktor penyebab anak tidak melanjutkan sekolah. Ketidakmampuan keluarga si anak untuk membiayai segala proses yang dibutuhkan selama menempuh pendidikan atau sekolah dalam satu jenjang tertentu.

3.      Faktor Kurangnya Tingkat Kesadaran Orang Tua akan Pentingnya Pendidikan
Faktor ini menunjukkan bahwa masyarakat kecewa dengan kualitas pendidikan. Masyarakat ‘yang berpikiran sempit’ memandang bahwa pendidikan formal tidak begitu penting. Asumsi ini lahir karena masyarakat beranggapan bahwa menyekolahkan anaknya di pendidikan formal hanya menambah jumlah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh keluaran para lulusan sekolah lanjutan belum mampu memenuhi dunia kerja.

4.      Faktor Letak Geografis Sekolah
Lokasi atau letak sekolah merupakan faktor yang mampu menyebabkan anak tidak melanjutkan sekolah. Jarak yang jauh dengan akses yang sulit merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh masyarakat untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Alat transportasi yang kurang serta jarak antara rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Selain itu juga dengan akses yang dirasa sulit, keselamatan pun dianggap tidak terjamin.

D.    Upaya-upaya  Meningkatkan Pemerataan dan Akses Pendidikan Khususnya bagi MI
1.      Strategi Meningkatkan Peran Madrasah

Walaupun keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun, masyarakat mengatakan bahwa sekolahlah yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Maka reformasi sekolah harus dimulai.
David D Curtis ( 2000 ) mengemukakan bahwa ada 4 strategi dalam reformasi pendidikan, yaitu akuntabilitas berbasis standar (standards-based accountability), reformasi sekolah secara menyeluruh (whole school reform), strategi pasar ( market strategis ), dan pembuatan keputusan yang bersifat demokratis atau pelimpahan wewenang dalam pembuatan ( shared decision-making ). 4 strategi tersebut dapat menjadi agenda dan pijakan oleh pembuat kebijakan untuk melalukan reformasi dan merumuskan kebijakan pendidikan di Indonesia. 
            Empat strategi tersebut diatas, layak untuk dipertimbangkan sebagai pedoman agar madrasah ke depan menjadi idola bagi orang tua. Madrasah tidak lagi dipandang sebelah mata karena kekurang layakan dalam segala hal. Namun sebaliknya ke depan madrasah memiliki nilai plus yakni memiliki plus di segi iman dan takwa serta mampu bersaing di segi pengembangan ilmu pengetahuan. Strategi yang dapat diterapkan  untuk menjawab tantangan- tantangan yang ada di madrasah antara lain sebagai berikut:

a.       Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dengan hati yang tulus
b.      Meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan baik melalui pendidikan formal maupun non formal.
c.       Meningkatkan kemampuan manajerial bagi seluruh warga sekolah.
d.      Penetapan sasaran-sasaran harus didasarkan pada kondisi riil serta memanfaatkan segala potensi yang ada.
e.       Berkomunikasi secara baik untuk kemajuan sekolah.  Kunci dari keberhasilah suatu madrasah adalah adanya komunikasi yang baik antar warga madrasah. Dengan komunikasi yang baik, segala kelemahan, masukan serta terobosan-terobosan baru akan dapat dengan mudah didapatkan.
Ada 4 hal realistis yang dapat diharapkan dari pendidikan agama Islam , yaitu :
1)      Pendidikan agama Islam memberikan wawasan tentang kehidupan secara utuh,
2)      Pendidikan agama Islam memfasilitasi tumbuhnya kesadaran bahwa ilmu itu harus diamalkan tanpa pamrih,
3)      Pendidikan agama Islam memberikan kontribusi dalam membangun karakter, dan
4)      Pendidikan agama Islam mengedepankan aspek universal dari agama.

Secara umum upaya untuk meningkatkan lembaga pendidikan dijelaskan oleh Teuku Amiruddin sebagai berikut :

a.       Program lembaga pendidikan supaya lebih terarah kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan ketrampilan dengan meningkatkan kemampuan untuk menggunakan berbagai peralatan elektronika.
b.      Reorganisasi dan konsolidasi terhadap pengajar, kurikulum silabi dan fasilitas belajar mengajar dan materi pembelajaran
c.       Peningkatan kemampuan sumber daya manusia agar yang mengelola lembaga pendidikan bersikap lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan diperlukan manajemen dalam bidang pendidikan agar lebih professional.
d.      Menciptakan kondisi dan situasi kampus menjadi “Kampus Idaman” yang menyenangkan sehingga membuat peserta didik dan alumni menjadi betah dalam mengikuti program-program pendidikan.
e.       Kerjasama antar lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan supaya lebih ditingkatkan dan diperjelas maknanya sehingga dapat memberikan manfaat yang dapat langsung dirasakan oleh para peserta didik dan pengajar.

Upaya tersebut adalah merubah paradigma pendidikan sebagai jalan menuju pencerahan ( enlightenment ). Pencerahan berarti :
1)      cerdas dan matang spiritual, yaitu memiliki pengetahuan yang benar tentang  hakikat asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan sehingga memiliki filsafat hidup yang bersifat spiritual-metafisis.
2)      cerdas intelektual, yaitu memiliki potensi keilmuan meliputi penguasaan suatu bidang studi, kreatif, cakap, dan terampil dalam menjalani kehidupan, sehingga kehidupan ini diliputi dengan sikap ilmiah, sebagai landasan perkembangan hidup.
3)      cerdas emosional, yaitu perilaku yang senantiasa dikendalikan oleh moral bersyukur, bersabar, dan berikhlas, sehingga dorongan kearah keserakahan hidup dapat diatasi.  Sedangkan masih berkaitan dengan permasalahan madrasah, A. Malik Fadjar memiliki konsep sebagai berikut:

a)      Perencanaan yang baik dan tepat
b)      Adanya kegiatan riset dan evaluasi. 

2.      Upaya Meningkatkan Mutu Madrasah
            Top of Form
Sampai saat ini, kondisi sebagian besar masyarakat kita dalam memandang keberadaan madrasah sepertinya masih ‘jauh di mata sekaligus jauh di hati’. Masyarakat kita masih belum mau membukakan mamtanya untuk menoleh sebentar ke madrasah, hati meraka pun belum merasa terpanggil untuk membenahi madrasah. Mengapa?
Terhadap masyarakat pertama kiranya dapat dimaklumi, karena dalam hal prestasi misalnya, keberadaan madrasah secara umum masih setingkat di bawah sekolah-sekolah umum.
Sementara masyarakat kedua, yakni unsur-unsur yang terlibat langsung dalam pengolahan madrasah, juga masih perlu diasah kreativitasnya dalam membangun dirinya sehingga mampu merubah image masyarakat.
Rendahnya mutu pendidikan madrasah, tidak lepas dari rendahnya SDM yang dimiliki madrasah itu sendiri. Hasil temuan tim Asian Development Bank (Hafiz Abbas, 2000), menyebutkan bahwa banyak siswa-siswi madrasah berasal dari keluarga petani dan keluarga berstatus ekonomi rendah. Mereka masuk madrasah karena tidak diterima di sekolah umum akibat NEM rendah. Motivasi rendah, sikap pasif dalam belajar serta kurangnya kesadaran pada pendidikan yang berorientasi ke masa depan merupakan kendala yang dihadapi dunia pendidikan madarasah.
Sementara, minimnya sarana dan prasarana penunjang pendidikan seperti ruang belajar, perpustakaan dan laboratorium yang ditunjang dengan rendahnya kualifikasi guru dan kepala madrasah, merupakan faktor lain penyebab rendahnya prestasi madrasah. Padahal, rendahnya mutu pendidikan madrasah sedikit-banyak memiliki andil bagi rendahnya mutu pendidikan nasional.
Terhadap semua persoalan di atas, solusi yang ditawarkan diantaranya melakukan berbagai upaya yang ditekankan pada
a.       Peningkatan kinerja kepala madrasah,
b.      Peningkatan profesionalisme guru,
c.       Penambahan kelengkapan sarana dan prasarana serta
d.      Pembinaan terhadap siswa, sebagai arah kebijakan dalam pengembangan dan peningkatan mutu madrasah.

1)      Kinerja Kepala
Nuansa Otonomi Daerah yang digulirkan pemerintah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999, melahirkan kebijakan tentang upaya peningkatan mutu pendidikan yang dibebankan kepala daerah/sekolah melalui Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Kepala madrasah, dalam konteks otonomi daerah memiliki peran sentral di dalam sub-sistem madrasah. Oleh karena itu, upaya peningkatan kinerja kepala madrasah dilakukan agar: mampu manjalankan fungsinya dalam kegiatan perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling), sehingga mereka memiliki visi ke depan dalam meningkatkan mutu madrasah.
Semua itu akan dapat tercapai manakala kepala madrasah memiliki sifat aktif, kreatif dan inovatif serta mampu menciptakan suasana kondusif di lingkungan madrasah. Seorang kepala juga harus mampu mengidentifikasi dan memahami kekurangan/kelebihan yang dimiliki madrasah serta dituntut untuk memiliki ide-ide cemerlang dalam membuat terobosan-terobosan baru yang sangat dibutuhkan dalam membangun madrasah unggul disamping kemampuan dalam merangkul, melobi, bekerja sama, mengkoordinasikan dan mengarahkan semua komponen madrasah.
Program peningkatan kinerja kepala madrasah ini dapat dimulai dengan pemberdayaan Kelompok Kerja Kepala Madrasah (K3M) dengan tujuan meningkatkan profesionalisme kepala, meningkatkan wawasan keilmuan sehingga memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global dan dalam menjalankan tugas. Musyawarah dan diskusi diupayakan untuk membangun komunikasi dan sinergi yang efektif dalam upaya menigkatkan mutu madrasah, melalui sharing ideas and experince (berbagi ide dan pengalaman) antara para kepala.
2)      Peningkatan Profesionalisme Guru
           Persoalan yang dihadapi guru, terutama menyangkut kesejahteraan yang belum memadai memang harus diakui berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit pula guru yang kurang memiliki keahlian memilih metode mengajar yang sesuai dengan keadaan siswa. Padahal antara kemampuan intelektual dan kemampuan menguasai metode merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, kedua belah sisi harus sama diperhatikan.
Hasil temuan laintim Asian Development Bank, menyimpulkan bahwa: cukup banyak guru madrasah yang tidak berwawasan luas dan tidak memiliki kemampuan metodologi mengajar yang baik. Akibatnya, mereka kurang memiliki kontribusi efektif dalam proses belajar mengajar. KBM yang dilaksanakan hanya bersifat monoton dan membosankan. Guru hanya menjalankan transfer of knowledge (mentransfer pengetahuan) dengan model pembelajaran delivery system (penghantar) berdiri di depan kelas untuk mentranfer ilmu pengetahuan.
Mereka juga tidak mampu tampil sebagai building capacity of students to learn (membangun kecakapan siswa dalam belajar) seperti yang diharapkan masyarakat. Di dalam kelas, mereka pun banyak yang bersifat otoriter, memaksakan kehendak sesuai dengan apa yang dikatakan dan diinginkan, kurang menghargai pendapat siswa dan lain sebagainya. Bentuk pendidikan seperti ini menurut Ausable tidak bermakna serta menghilangkan orientasi hidup siswa karena siswa tidak diajarkan tentang fenomena sekelilingnya. Bahkan Paulo Freire lebih keras lagi menyebutkannya sebagai bentuk pendidikan yang membelenggu, tidak manusiawi dan tidak membangun individu belajar.
Guru profesional menurut Prof. Suryanto Ph. D (2001) akan dapat mengelola pembelajaran dengan efektif karena memiliki kompetensi yang terkait dengan iklim belajar di kelas, kemampuan dalam memanage strategi pembelajaran, mampu memberi umpan balik (feedback) dan memberi penguatan (reinforcement) serta yang lebih penting lagi adalah memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri.
Kepala madrasah dalam konteks ini, memegang peran penting dalam melaksanakan fungsinya sebagai controlling, melalui kegiatan evaluasi dan supervisi secara efektif dan efesien. Untuk itu, kegiatan supervisi yang dilakukan kepala madrasah, hendaknya lebih ditekankan kepada pengembangan profesionalisme guru, sehingga dalam kelas guru tidak tampil sebagai sosok yang membosankan, instruktif serta tidak mampu menjadi idola bagi siswa-siswinya.
Program peningkatan profesionalisme guru, dilakukan dengan cara mengikut-sertakan para guru dalam membagi kegiatan pelatihan, penataran, seminar serta memberdayakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Melalui MGMP, seorang guru dapat bertukar pikiran, ide-ide, gagasan dan pengalaman sehingga akan meningkatkan kemampuan profesionalnya serta dapat menyetarakan kemampuan akademis dan meningkatkan ketrampilan dalam melaksanakan tugas pembelajaran di kelas.
3)      Kelengkapan Sarana
Usaha meningkatkan mutu madrasah, tidak lepas dari kelengkapan sarana dan prasarana penunjang KBM seperti: ruang belajar yang nyaman, ruang ketrampilan dan alat peraga, ruang laboratorium beserta peralatannya dan ruang perpustakaan dengan buku-buku yang lengkap.
Ruang belajar yang sempit dan pengap akan menjadikan proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman. Guru menjadi tidak betah tinggal di kelas sehingga lebih sering ‘nongkrong’ di ruang guru. Siswa menjadi semakin ramai dan lebih suka duduk-duduk di depan kelas karena ditinggal oleh gurunya.
Sehingga proses yang dilakukan untuk menghilangkan ketidak-tahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih ketrampilan sesuai bakat, minat dan kemampuan yang merupakan arti madrasah menjadi hilang.
      Minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki madrasah, menjadi penyebab kegiatan belajar siswa menjadi tidak optimal, dan pada akhirnya tujuan peningkatan mutu tidak tercapai.
Untuk itu seorang kepala diharapkan mampu menjemput bola, mencari dan menggali informasi/peluang yang datangnya dari berbagai sumber (Depag, Diknas, LSM dan atau masyarakat) dalam upaya menggali dana bagi usaha melengkapi sarana dan prasarana sekolah yang dibutuhkan.
Dalam konteks ini, pengelola madrasah tidak hanya berpangku tangan menanti datangnya bantuan, mereka harus mampu membuat jejaring (networking) dengan berbagai pihak, dan mampu berfungsi sebagai jembatan antara pihak madrasah dengan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap madrasah (stakeholders). Dengan menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak terkait seperti: Pemerintah Kab.Kota, Kementerian Pendidikan, orang tua/wali siswa, masyarakat, LSM dan kalangan industri (Agus JP, 2001).
4)      Pembinaan Siswa
Pembinaan siswa ini diarahkan pada peningkatan kecerdasan, kreativitas, minat dan bakat, serta pembinaan sikap, kepribadian dan kedisiplinan yang dilandasi iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Strategi pembinaan kesiswaan dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan organisasi kesiswaa, latihan dasar kepemimpinan siswa, kehiatan ekstra-kulikuler (pramuka, PMR, BTQ, paskibra, komputer dan ketrampilan lainnya).
Upaya pembinaan terhadap kehidupan madrasah yang Islami dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan siswa-siswi membaca/tadarus Al-Qur’an setiap memulai pelajaran, sholat dhuha dan dhuhur berjama’ah dan berdoa setiap pulang sekolah.
Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan peserta didik di masa sekarang dan masa yang akan datang, perlu kiranya madrasah mengembangkan kurikulum terapan, agar siswa-siswi mampu ‘mengaji’ dengan fasikh dan benar, berdoa, berceramah agama dan memimpin doa minimal di lingkungan madrasah. Disamping itu mereka pun cakap berbahasa Inggris, mampu membetulkan kran yang rusak, menyambung lagi skring yang putus. Mereka pun melek teknologi dan sadar terhadap kelestarian lingkungan hidupnya.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar