Minggu, 03 Januari 2016

KELUARGA HARMONIS



KELUARGA HARMONIS

Konsep Keluarga Bahagia
Ciri – ciri keluarga bahagia adalah keluarga yang selalu mempunyai tegang rasa yang baik antar sesama anggota keluarga, tidak saling curiga, saling bantu membantu, tidak mudah terpengaruh dengan isu-siu luar yang bisa merusak keharmonian keluarga.
Keluarga bahagia, keluarga yang didalamnya terdapat berbagai persoalan/masalah kekeluargan. Tetapi itu semua dihadapi dengan kepala diingin dan dengan komunikasi yang baik, antar sesama anggota keluarga keluarga, istri dengan suami, anak dengan ibu, anak dengan ayah, martua dengan menantu, dan anggota lain yang ada dikeluarga.
Penuhilah kebutuhan-kebutuhan keluarga secara bersama-sama, sehingga susuatu yang dibutuhkan dalam membangun keluarga bahagian kita dapatkan, sehingga dengan mudah kita bisa bangun keluarga yang bahagia, untuk memenuhi itu semua jangan memberatkan salah satu dari anggota keluarga kita, mari kita bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Jangan saling menyalahkan antar anggota keluarga, walaupun kita tau salah satu anggota keluarga kita berbuat salah, beri memereka peluang untuk membela diri, dan berkreativitas terhadap,apayang,diinginkannya. Keluarkan kemampuan optimal dalam membangun keluarga bahagia. jangan terpaksa, beri dengan keiklhasan yang baik.
Banyak lain yang perlu kita perhatikan dalam membangun keluarga bahagia.
Keluarga Bahagia Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada TYME, memiliki hubungan serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Bahagia adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat yang senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan. Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
Menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN (1996), tahapan keluarga bahgia dan sejahtera terdiri dari:  
a.       Prasejahtera
Keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal atau belum seluruhnya terpenuhi seperti:spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan KB.
b.      Sejahtera I
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
c.        Sejahtera II
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan kebutuhan sosial psikologisnya tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan, seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
d.      Sejahtera III
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat atau kepedulian sosialnya belum terpenuhi seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat.
e.       Sejahtera III plus
Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan, dan telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan atau memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Kebutuhan – Kebutuhan Manusia
Kebutuhan manusia itu beragam dan bila dihitung tak akan terhitung banyaknya seunpama banyaknya pasir dilaut dan bintang-bintang di langit, kita pasti tak dapat menghitungnya. Beragam kebutuhan manusia itu tak dapat kita klasifikasikan menurut tolok ukur tertentu.
a. Tingkat Kebutuhan Manusia Menurut Maslow
Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya, teori yang telah resmi di akui dalam dunia psikologi.
Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak hingga yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi. Setiap orang pasti akan melalui tingkatan-tingkatan itu, dan dengan serius berusaha untuk memenuhinya, namun hanya sedikit yang mampu mencapai tingkatan tertinggi dari piramida ini.
Lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori Maslow adalah sebagai berikut (disusun dari yang paling rendah) :
1.      Kebutuhan Fsiologis.
Contohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.
2.      Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan
Contoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan semacamnya.
3.      Kebutuhan Sosial
Misalnya adalah : Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
4.      Kebutuhan Atas Penghargaan
Dalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, Eksternal dan Internal.
- Sub kategori eksternal meliputi : Pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya.
- Sedangkan sub kategori internal sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya.
5.      Aktualisasi Diri
Menurut Maslow pribadi yang telah berhasil  beraktualisasi memiliki beberapa ciri diantaranya adalah :
a.       Memusatkan diri pada realitas (reality-centered), yakni melihat sesuatu apa adanya dan mampu melihat persoalan secara jernih, dan bebas
b.      Memusatkan diri pada masalah (problem-centered), yakni melihat persoalan hidup sebagai sesuatu yang perlu dihadapi dan dipecahkan, bukan dihindari.
c.       Spontanitas, menjalani kehidupan secara alami, mampu menjadi diri sendiri serta tidak berpura-pura.
d.      Otonomi pribadi, memiliki rasa puas diri yang tinggi, cenderung menyukai kesendirian dan menikmati hubungan persahabatan dengan sedikit orang namun bersifat mendalam.
e.       Penerimaan terhadap diri dan orang lain. Mereka memberi penilaian tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri dan orang lain. Dengan kata lain orang-orang yang telah beraktualisasi diri lebih suka menerima anda apa adanya ketimbang berusaha mengubah anda.
f.       Rasa humor yang ‘tidak agresif’ (unhostile). Mereka lebih suka membuat lelucon yang menertawakan diri sendiri atau kondisi manusia secara umum (ironi), ketimbang menjadikan orang lain sebagai bahan lawakan dan ejekan.
g.      Kerendahatian dan menghargai orang lain (humility and respect)
h.      Apresiasi yang segar (freshness of appreciation), yakni melihat sesuatu dengan sudut pandang yang orisinil, berbeda dari kebanyakan orang. Kualitas inilah yang membuat orang-orang yang telah beraktualisasi merupakan pribadi-pribadi yang kreatif dan mampu menciptakan sesuatu yang baru.

b. Kebutuhan Manusia Menurut Tingkat Kepentingan
Tolok ukur berlaku di sini berhubungan dengan propritas atau kadar penting atau tidaknya suatu kebutuhan tersebut.
  • Kebutuhan Primer. Kebutuhan primer merupakan kebutuhan yang paling utama untuk dipenuhi. Termasuk dalam kebutuhan primer ialah: kebutuhan akan makanan, pakaian dan perumahan. Mengapa kebutuhan seperti itu dinamakan primer? Ditinjau dari sudut pandang etimologi (Ilmu yang mempelajari asal usul kata), kebutuhan primer itu berarti kebutuhan yang pertama kali dibutuhkan oleh manusia demi kelangsungan hidupnya. Primer sendiri berasal dari kata Primus yang berarti “pertama”. Agar tetap hidup manusia harus makan, minum, dan berpakaian layaak serta harus pula mempunyai tempat tinggal untuk berlindung dari hujan, matahari dan udara dingin. Akan sulit bagi manusia untuk melaksanakan jati dirinya sebelum kebutuhan primernya terpenuhi. Itulah sebabnya kebutuhan primer itu disebut “kebutuhan alamiah”.
  • Kebutuhan Sekunder. Manusia tidak hanya hidup dengan memenuhi kebutuhan primer, tetapi manusia sebagai makhluk berbudaya dan bermasyrakat tidak lepas dari kebutuhan yang lebih luas, lebih banyak dan lebih sempurna. Kebutuhan semacam ini menyangkut kebutuhan akan peralatan rumah tangga, seperti tempat tidur, meja, kursi, radio, buku, alat tulis, komputer, dll. Kebutuhan seperti ini disebut kebutuhan sekunder. Kata sekunder berasal dari kata latin secundus yang berarti “kedua” kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan setelah kebutuhan primer terpenuhi. Setelah kebutuhan primer terpenuhi, manusia akan memperhatikan kebutuhan sekundernya demi untuk menjaga kenyamanan hidupnya dan jati dirinya.
  • Kebutuhan Tersier. Tersier berasal dari kata tersius yang berarti “ketiga.” Kebutuhan ini akan timbul setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan tersier ini tertuju kepada barang-barang mewah seperti mobil sedan yang mewah, TV yang besar dan layar datar 54 inci, wisata ke Alaska atau bahkan berlibur ke ruang angkasa. Kebutuhan tersier ini bertujuan untuk meningkatkan prestise manusia tersebut dalam masyrakat. Perlu kita ketahui, batas antara kebutuhan sekunder dan tersier untuk setiap orang berbeda-beda. Perbedaan ini ditentukan oleh kedudukan dan status ekonomis orang ditengah masyarakat. Adakalanya kebutuhan sekunder untuk golongan merupakan kebutuhan tersier untuk golongan lain, seperti kebutuhan akan TV hitam putih di suatu desa terpencil. Sedangkan di kota-kota besar, TV hitam-putih tidak lag dianggp barang mewah. Bahkan bagi golongan yang berpenghasilan tinggi, TV berwarna sudah dianggap sebagai kebutuhan primer.
c. Kebutuhan Menurut Sifatnya
Tolok ukur yang berbeda disini berhubungan dengan akibat atau pengaruh bagi kita secara jasmani dan rohani.
  • Kebutuhan Jasmani. Membaca namanya, kita segera tahu bahwa kebutuhan macam ini berhubungan dengan badan dan raga kita. Agar tetap hidup, raga kita harus tetap dipelihara dengan memberikan cukup makanan dan minuman dan pakaian agar kita tetap layak hidup dalam masyarakat. Lalu kita ketahui sekarang ini, di kota-kota sudah menjamur pusat-pusat kesegaran jasmani dan fitness center. Gejala ini juga menunjukan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Sampai disini dapat kita simpulkan bahwa, kebutuhan jasmani merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk pemeliharaan raganya.
  • Kebutuhan Rohani. Terpenuhnya kebutuhan jasmani belum menjamin berlangsungnya kehidup kita dengan baik. Sering kita saksikan, orang-orang kaya yang mengalami stress atau terkekang. Selain makan dan minum, manusia masih membutuhkan ketentraman, kenyamanan, pemuasan dan perhatian. Kebutuhan seperti ini berhubungan dengan rohani dan batin kita. Kebutuahan macam ini tidak boleh kita sepelehkan. Seandainya kalian diabaikan oleh ayah, ibu atau teman-teman, kalian merasa tidak enak, bukan? Di sini, dapat kita simpulkan bahwa kebutuhan rohani merupakan kebutuhan yang bila dipenuhi akan memberikan kepuasan batin. Hal yang harus diperhatikan disini ialah bahwa kebutuhan rohani itu tidak hanya meliputi kebutuhan yang menjalankan ibadah saja, tetapi juga kebutuhan akan pendidikan seperti membaca buku, berekrasai, berkumpul dengan orang tua, juga hiking bersama teman-teman untuk menyaksikan keindahan alam.
d. Kebutuhan Menurut Waktu
Tolok ukur yang berlaku di sini mununjuj pada kebutuhan dengan pemenuhannya; kapan kebutuhan tertentu dapat atau harus dipenuhi. Berdasarkan tolok ukur ini, kebutuhan dapat diklasifikasikan menjadi:
  • Kebutuhan sekarang. Kebutuhan seperti ini menunjuk pada kebutuhan yang pemenuhannya harus sekarang juga atau tidak dapat ditunda. Penundaan akan berakibat fatal. Misalnya, orang yang sedang sakit harus segera minum obat yang sesuai dengan penyakitny. Jika ditunda maka nyawa si sakit akan terancam.
  • Kebutuhan yang akan datang. Kebutuhan yang macam ini menunjukkan pada kebutuhannya dilakukan dikemudian hari. Dengan demikian, kebutuhan ini berhubungan dengan persediaan atau persiapan untuk waktu yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya, penyediaan perlengkapan bayi bagi ibu yang sedang mengandung, menabung dalam rangka penyediaan dana untuk melanjutkan pendidikan, tabungan hari tua bagi yang akan pensiun, dan sebagainya.
e.Kebutuhan Menurut Subyek yang Dibutuhkan
Tolok ukur yang berlaku di sini berhubungan dengan jumlah orang yang membutuhkan, apakah hanya orang tertentu ataukah hanya sekelompok orang. Berdasarkan tolok ukur tersebut, kebutuhan dapat diklasifikasikan menjadi:
  • Kebutuhan individual. Kebutuhan individual adalah kebutuhan yang mencakup hal-hal yang diperuntukkan bagi perseorangan (individu). Kebutuhan seperti ini berbeda untuk tiap-tiap orang. Misalnya, kebutuhan seorang petani berbeda dengan kebutuhan seorang akutan. Seorang petani membutuhkan cangkul, arit, bajak, dan pupuk, sedangkan seorang akuntan membutuhkan alat tulis, kalkulator, kertas, dan komputer.
  • Kebutuhan Kolektif. Kebutuhan kolektif adalah kebutuhan yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara bersama-sama. Misalnya, jembatan, pasar, angkutan umum, rumah sakit, tempat rekreasi, telepon umum, jalan raya, dan lain-lain. Barang dan jasa kebutuhan kolektif ini disediakan untuk memudahkan masyrakat melaksanakan kegiatan ekonomi, sosial atau kegiatan sehari-hari lainnya.
Ciri – ciri Keluarga Bahagia
            Keluarga yang diidealkan setiap manusia adalah keluarga yang memiliki ciri-ciri mental sehat demikian dengan perasaan tenang, cinta dan kasih sayang. Antar anggota keluarga saling mencintai, menyayangi, dan merindukan. Sang ayah mencintai, menyayangi dan merindukan anak dan ibu dari anak-anaknya. Sang ibu menyayangi, mencintai dan merindukan anak dan ayah dari anak-anaknya. Sang anak pun demikian: menyayangi, mencintai, dan merindukan ayah dan ibunya. Dengan demikian di antara mereka terdapat kesatuan (unity) satu terhadap yang lain. Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga yang bahagia adalah (1) kesatuan dengan Sang Pencipta, (2) kesatuan dengan alam semesta, (3) komitmen, (4) adanya feedback, (5) keluwesan, (6) kesatuan fisik dan hubungan seks yang sehat, (7) kerjasama, (8) saling percaya, dan lain-lain.

1. Kesatuan dengan Sang Pencipta

           Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memelihara keterikatan dengan Tuhan  Sang Pencipta. Keterikatan ini sesungguhnya bersifat alamiah. Antara manusia dan Tuhan telah terjadi perjanjian primordial, yaitu manusia bertaqwa kepada tuhan yang maha esa. Para ahli psikologi menyederhanakannya dengan istilah religious instinct. Bila keterikatan alamiah ini dipelihara, maka manusia berada dalam posisi mempertahankan dan memelihara fondasi kepribadiannya. Dalam kehidupannya, ia memperoleh ketenangan, rasa cinta, dan kasih sayang.

Kesatuan dengan Sang Pencipta dalam masalah pernikahan ini disederhanakan dengan ungkapan pernikahan merupakan ibadah. Artinya, ketika dilangsungkan dan dijalankan roda kehidupan pernikahan (baca: dibentuk keluarga), maka yang dilakukan mereka berdasarkan kerangka kesatuan dengan Tuhan.


            Dalam perjalanan hidup keluarga yang dijalaninya, mereka selalu berusaha untuk mendapatkan kebaikan dan kesejahteraan dari Tuhannya. Bila ada problem yang menimpa, mereka mengembalikannya kepada Sang Pencipta. Mereka sadar sepenuhnya bahwa Sang Pencipta memuliakan pernikahan dan sangat membenci perceraian.

             Secara empiris, sebagaimana diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman (2001) setelah menanyai berbagai pasangan yang menikah minimal 25 tahun, keluarga yang kuat selalu menyadari pentingnya agama (baca: kesatuan dengan Tuhan) sebagai sesuatu yang penting dalam menunjang kebahagiaan keluarga. Bagi keluarga yang bahagia, menjalani hidup dalam kesatuan dengan Sang Pencipta adalah ciri yang melekat pada mereka. Semakin tinggi kesatuan dengan Sang Pencipta semakin tinggi tingkat kebahagiaan hidup keluarga.

2. Kesatuan dengan alam semesta (terutama manusia)

          Setiap manusia dan unit kesatuan manusia semestinya memiliki keterikatan dengan sesama manusia dan alam semesta. Kesatuan dengan alam semesta ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari amanat yang diterima setiap manusia untuk menjadi pengganti Tuhan di bumi. Keluarga yang memiliki keselarasan dengan lingkungannya akan memperoleh ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang dari lingkungannya. Semua itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ketenangan, cinta, dan kasih sayang dalam dada mereka. Tanpa kesatuan dengan sesama manusia dan lingkungan alam, keluarga sering berada dalam ancaman keresahan dan kekhawatiran.

Kesatuan dengan lingkungan diwujudkan dalam bentuk upaya menyelaraskan diri dengan lingkungan dan memberi sumbangan bagi lingkungan. Penyelarasan terhadap lingkungan terutama menyangkut adanya kenyataan bahwa lingkungan memiliki kekuatannya sendiri dan karenanya yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan diri dengannya. Berdasarkan pengamatan penulis, kesatuan dengan lingkungan yang terwujud dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sering menjadi prasayarat bagi ketenangan hidup dalam keluarga. Sebuah riset menunjukkan bahwa orang-orang (termasuk keluarga) yang baru tinggal di negeri asing akan terhindar dari keterkejutan budaya bila memiliki seorang atau beberapa kawan yang berasal dari orang atau keluarga negeri tuan rumah (John W. Berry dkk, 1999). Keterputusan dengan alam semesta (baca: lingkungan sosial) akan menghadirkan ketidaktenangan, cinta, dan kasih sayang. Sebagai misal, bila kita sakit dan tak satupun tetangga atau sahabat yang mengunjungi kita, maka kita akan sakit keloro-loro (sakit yang sangat pedih).

Lebih dari sekadar menyesuaikan diri, manusia memiliki tugas menyumbang: memperbaiki dan mengubah lingkungannya. Lingkungan yang tidak kondusif bagi kehidupan makhluk Tuhan, keadaan sosial yang mencelakakan, lingkungan fisik yang penuh dengan persoalan, adalah medan bagi setiap manusia untuk berkiprah memperbaiki dan mengubahnya menjadi lebih baik. Bila tugas ini dilakukan dengan baik, maka manusia menunjukkan kesatuannya dengan lingkungannya. Manusia-manusia yang hidup di masa kini dan mendatang memiliki tantangan untuk menyumbang lingkungan dalam bentuk perilaku memperbaiki dan mengubah. Bila sumbangan itu dapat kita berikan, maka ketenangan akan kita peroleh. Bila kita acuh tak acuh, maka akan terasa tidak enaknya tidak menyatu dengan lingkungan.

3. Komitmen Berkeluarga
Individu-individu yang pertama kali membentuk keluarga memiliki niat dan itikad untuk membentuk, mempertahankan dan memelihara pernikahan. Komitmen utama adalah bagaimana keluarga bertahan. Di sini suami dan istri memiliki niatan untuk mempertahankan keluarga dalam situasi apapun dan juga berupaya mengoptimalkan fungsi keluarga untuk memenuhi tanggung jawab vertikal maupun horisontal. Biar gelombang menerjang dan gunung berguguran, komitmen mempertahankan pernikahan tetap dipegang teguh. Sebagaimana diungkapkan Florence Isaacs (Hanna D. Bastaman, 2001), pernikahan yang awet ditandai oleh niat dan itikad untuk mempertahankan pernikahan.
Komitmen yang lain adalah bagaimana keluarga mencapai posisi sebagai keluarga yang penuh kasih sayang,ketenangan, dan cinta kasih. Di sini ada keinginan, niat, dan itikad untuk meningkatkan mutu berkeluarga. Dengan komitmen itu mereka berusaha menghilangkan kebosanan satu terhadap yang lain, selalu meningkatkan rasa fresh satu bagi yang lain, dan seterusnya. Bila komitmen itu tidak dimiliki oleh orang-orang utama dalam keluarga, suami dan istri serta juga anak-anak, maka keluarga itu dapat ambruk atau memasuki medan penghancuran. Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa keluarga yang pecah (broken  home), yang ditandai oleh percekcokan dan perceraian orangtua, akan menghasilkan anak-anak yang pencemas, rendah diri, apatisme, dan sejenisnya (Yeti Fauzia, 2001).

4. Umpan Balik (Feedback) dan Nasihat

          Setiap manusia dapat tergelincir ke hal-hal yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain, dan sebaliknya dapat pula berkembang secara optimal. Salah satu fungsi keluarga adalah melakukan sosialisasi primer. Melalui sosialisasi primer ini anggota keluarga dapat memahami apa yang patut dan tidak patut, baik dan tidak baik. Sosialisasi primer dilakukan dengan kebiasaan memberi umpan balik (feedback) dan saling menasehati (tausiyah). Nasihat dimaksudkan untuk menjaga orang-orang yang ada dalam keluarga dari kemungkinan mengambil pilihan yang merugikan dan menyesatkan diri maupun orang lain.
nasihat  biasanya diawali oleh feedback (umpan balik). Umpan balik dan saling menasehati dalam keluarga ini berlangsung di antara seluruh anggota keluarga, yaitu bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga yang lain. Berbagai bukti menunjukkan bahwa adanya saling menasehati atau memberikan umpan balik akan menjadikan keluarga kokoh. Salah satu adalah sebagaimana yang diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman (2001) bahwa pernikahan (baca: keluarga) yang awet ditandai oleh adanya saling asah-asih-asuh, saling menunjang hasrat dan cita-cita pasangannya.

Yang patut diperhatikan adalah fungsi saling menasehati ini banyak yang tidak berlangsung. Salah satu kritik yang pernah dialamatkan pakar psikologi perkembangan Indonesia Kusdwiratri Setiono terhadap orang tua (baca: pengendali keluarga) adalah mereka sangat minim dalam menasehati anaknya dan terlalu percaya bahwa sekolahlah yang akan menjadikan anak mereka pintar dan santun. Anak-anak dari orang berhasil ternyata tidak memiliki kehidupan yang sukses, diduga keras karena tidak berjalannya proses komunikasi yang berisi umpan balik. Karenanya umpan balik dan saling menasehati tampaknya menjadi hal yang penting untuk menjaga keluarga agar tetap memiliki jalur yang benar.

Salah satu persoalan berkaitan dengan masalah ini adalah adab (tata krama) menasehati. Mungkinkah anak menasehati sang ayah? Mungkin salah satu kenyataan budaya kita menunjukkan bahwa ayah begitu perkasa dan berwibawa untuk diposisikan sebagai orang yang dinasehati. Sebenarnya, siapapun dapat berada dalam posisi yang benar dan sebaliknya bisa dalam posisi salah. Orang yang yakin dengan kebenaran berada dalam posisi amar ma’ruf nahi munkar, tidak peduli ayah, ibu, atau presiden sekalipun.

5. Keluwesan

          Pada awal pembentukan keluarga umumnya orang memiliki harapan-harapan yang ideal. Ke manapun pergi selalu bersamamu, begitu mimpi setiap pasangan baru. Dalam kenyataannya harapan itu dan berbagai harapan lainnya, tidak mewujud. Dalam situasi seperti ini, orang merasakan keadaan yang diidealkan tidak tercapai.

Bertindaklah realistis, kata orang. Artinya, orang tetap luwes dengan idealita yang dipatoknya : menyesuaikan diri dengan kenyataan tanpa kehilangan harapan untuk mencapainya di suatu hari kelak.
Keluwesan yang lain adalah keluwesan terhadap pasangan. Setiap individu yang berkeluarga mengharapkan pasangannya bertindak dan bersikap baik seperti yang ada dalam kerangka pikirnya. Dalam kenyataannya, banyak sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan dan menyesakkan dada. Dalam situasi seperti ini, toleransi terhadap hal-hal yang berbeda dari pasangan menjadi amat penting. Yang patut dicatat, dalam toleransi ada komitmen untuk menjadikan yang ada berubah menjadi lebih baik, tentu secara bertahap.

6. Kesatuan Fisik dan Hubungan Seks yang Sehat

          Berbagai literatur mengungkapkan bahwa keluarga yang sehat mental ditandai oleh adanya hubungan seks yang sehat antara suami dan istri. Seks merupakan bentuk hubungan yang melibatkan kesatuan fisik dan psikologis dari suami istri. Adanya keberlangsungan hubungan seks yang semestinya akan menjaga kesatuan dalam keluarga, menjadikan anggota keluarga bahagia, dan puas. Berbagai temuan mutakhir menunjukkan bahwa terjaganya hubungan seks suami istri (seminggu 2-3 kali) menjadikan suami istri puas dalam pernikahan yang secara jangka panjang dapat memanjangkan umur. Sebaliknya, sebagaimana dapat dilihat dalam kenyataan sosial, kegagalan hubungan seks, terlalu jarangnya kontak seksual, dan juga terlalu berlebihannya hubungan seksual akan memiliki dampak kekisruhan dalam keluarga (semisal perselingkuhan, dan seterusnya) dan ketidakstabilan emosi. Sebuah kasus di Rumah Sakit Jiwa Magelang menunjukkan bahwa seks yang berlebihan menyebabkan seorang istri jadi pasien rumah sakit jiwa.
          Tidak kurang dari itu, kesatuan fisik antara anggota keluarga sangat berguna untuk memupuk adanya keluarga yang kokoh. Kehadiran secara fisik orang yang kita cintai akan menjadikan cinta terpelihara. Pernyataan ini bukan berarti anggota keluarga harus terus menerus bersama. Maksudnya, adanya perpisahan yang bersifat sementara (misalnya karena kerja, studi, atau bepergian beberapa hari) segera disusul oleh perjumpaan.
Berbagai kasus menunjukkan jarak yang jauh menyebabkan terjadinya berbagai macam perselingkuhan dan perceraian.

7. Kerjasama

          Agar keluarga dapat berjalan secara optimal, semestinya mereka saling bekerjasama. Suami membantu istri dan anak. Istri membantu suami dan anak. Anak membantu bapak dan ibunya. Masalah kerjasama atau kekompakan ini akan berkembang bila mereka mengupayakan untuk melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama. Salah satu medan kerjasama atau kekompakan adalah dalam hal mendidik anak. Kultur masyarakat masa lalu dan juga masa kini sering menempatkan wanita sebagai pihak yang bertanggung jawab mendidik anak. Kesalahkaprahan ini sangat sering terjadi. Laki-laki pun banyak yang merasa tidak bersalah saat mereka bulat-bulat menyerahkan tanggung jawab mendidik anak kepada istri, atau malah kepada baby sitter, pembantu rumah tangga, atau kepada televisi. Bahkan, pembantu pun menyerahkan ke peminta-minta di jalanan (sebagaimana terjadi di Bandung beberapa waktu lalu).

          Keadaan di atas tentu sangat tidak ideal. Yang semestinya diupayakan oleh setiap keluarga adalah bagaimana terdapat kerjasama dalam mendidik anak.
Satu hal amat penting untuk diperhatikan dalam masalah kerjasama adalah peran ganda pria (baca: suami). Kultur yang berkembang dalam masyarakat umumnya menempatkan laki-laki bekerja dalam sektor publik dan sangat minim bekerja dalam sektor domestik, terutama mendidik anak. Kerjasama dapat dioptimalkan bila laki-laki menyediakan diri untuk mengerjakan wilayah domestik. Apabila ini dilakukan, maka babak kerjasama suami dan istri mulai,menguat.

8. Saling Percaya

          Pembentukan keluarga (baca: pernikahan) diawali oleh kesalingpercaya-an. Masing-masing pihak –suami dan istri-- percaya bahwa satu sama lain akan melakukan usaha agar jalinan kesatuan di antara mereka dapat mengantarkan mereka menjadi bahagia dan sejahtera. Bila kepercayaan ini dijaga, maka kehidupan berkeluarga dapat dipertahankan. Bila kepercayaan tidak dijaga, maka keluarga dapat pecah (broken home).

Salah satu ajaran agama yang dalam kehidupan kongkrit bersifat kontroversial adalah menikah lebih dengan seorang istri. Dalam keluarga yang demikian, satu istri bisa sangat cemburu dan bahkan sangat curiga manakala sang suami tampak lebih akrab dan lebih cinta terhadap istri yang lainnya. Kalau kecemburuan dan kecurigaan merajalela, maka yang bakal terjadi adalah rusaknya bangunan keluarga. Artinya, sebagaimana ditemukan dalam banyak kasus, poligami ternyata rentan terhadap upaya mempertahankan kesalingpercayaan suami istri.
         Secara garis besar ciri-ciri keluarga yang bahagia bukan hanya tentang uang, kekayaan, jabatan atau kesuksesan lainnya yang kita raih, tetapi juga keluarga yang harmonis. Ciri keluarga sehat, bahagia juga harmonis berikut bisa kita jadikan cermin untuk melihat tanda-tandanya dalam keluarga kia nanti. Ciri-ciri keluarga yang harmonis diantaranya adalah :
  • Menikmati kehadiran yang lain. Antara suami dan istri, orang tua dengan anak, dengan saudara dengan mertua dan dengan anggota lain di dalam keluarga  tidak berarti mereka harus selalu bersama-sama, tetapi begitu bersama-sama mereka menikmati kebersamaan itu dan menciptakan suasana kekeluargaan dan kebahagiaan.
  • Saling menghargai satu sama lain dan menemukan hal-hal positif pada diri masing-masing anggota.
  • Meski tidak selalu, mereka sering melakukan rekreasi bersama-sama. Nonton konser, berlibur, dan berjalan-jalan ke tempat yang sama tapi tetap merasakan arti kebahagiaan dalam kesederhanaan.
  • Saling terbuka dan percaya satu sama lain, termasuk hal-hal yang sangat pribadi.
  • Bila salah satu tertimpa kesusahan, ia selalu bisa datang pada yang lain tanpa rasa sungkan dari semua antar anggota keluarga.
  • Sering menertawakan satu hal yang sederhana bersama-sama, menyanyi lagu yang sama, dan menikmati acara yang sama untuk menciptakan kebahagian melalui hal-hal yang kecil dan sederhana.
  • Tidak pernah kehabisan acara atau ide untuk melakukan hal bersama-sama.

Bila hal-hal umum yang mencirikan keluarga bahagia diatas telah kita miliki, tentu
arti makna kehidupan pun sudah kita  temukan. Mungkin selama ini banyak permasalah keluarga yang salah satu penyebabnya adalah tidak adanya waktu luang untuk keluarga. Kita  tentu ingin tetap meraih kesuksesan dalam karir, kesehatan dan financial tanpa melupakan keluarga. Oleh sebab harus ada keseimbangan dari berbagai aspek-aspek kehidupan yang kita jalani untuk memperoleh kebahagian dalam hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar