PESANTREN DAN MADRASAH
BERASRAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
karakteristik peserta didik ?
2.
Apa
saja inti dari progam pendidikan ?
3.
Apa
saja kurikulum madrasah di Indonesia ?
4.
Bagaimana
dinamika pesantren di Indonesia ?
5.
Bagaimana
dinamika madrasah dan sekolah Islam di Indonesia ?
B. Tujuan
1.
Untuk
menjelaskan karakteristik peserta didik.
2.
Untuk
menjelaskan inti program pendidikan.
3.
Untuk
menjelaskan kurikulum madrasah di Indonesia.
4.
Untuk
menjelaskan dinamika pesantren di Indonesia.
5.
Untuk
menjelaskan dinamika madrasah dan sekolah Islam di Indonesia.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A. Karakteristik
Peserta Didik
Peserta didik madrasah
atau Pesantren adalah remaja yang dalam psikologi modern disebut “masa
pubertas”, atau “usia kedewasaan” (Hurlock, 1999: 184). Dalam tradisi Islam
disebut fase ‘aqil-baligh. Pada fase perkembangan ‘aqil Baligh anak telah
mengalami kematangan seksual secara biologis, dan pada saat yang sama memiliki
kemampuan membuat pilihan dan inisiatif yang memungkinkan ia membuat perubahan
pada dirinya atau lingkungannya, menjadi lebih baik atau buruk. Pada fase
perkembangan ‘aqil-baligh, seseorang diharapkan sudah bisa bertanggung jawab
dalam lingkup ibadah, mu’amalah, munakah, dan jinayah (Adhim, 1996: 14). Pada’aqil
baligh, seseorang dianggap layak menerima beban tugas sebagai mukallaf.
Karakteristik manusia
yang layak (ahliyah) menerima taklif Allah swt. Adalah yang memiliki kematangan
biologis , kecerdasan intelektual dan kehendak bebas.
Masa remaja atau masa
pubertas, ditandai dengan pertumbuhan dan perubahan fisik yang sangat pesat.
Ada empat perubahan tubuh yang utama, yaitu perubahan besarnya tubuh, perubahan
proporsi tubuh, perubahan ciri-ciri seks primer (kematangan kelenjar kelamin,
yaitu testes untuk laki-laki dan ovarium untuk anak gadis), dan perkembangan
ciri-ciri seks sekunder – ciri-ciri fisik yang membedakan pria dari wanita.
Kriteria yang peling umum untuk menandai kematangan biologis seseorang adalah
ketika mengalami (menarche) pada perempuan dan ihtilam (basah malam) atau
nocturnal ejaculation pada anak laki-laki (Lathif, 2000: 3).
Perkembangan manusia
pada fase pubertas oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai periode peralihan,
masa ambang dewasa, periode perubahan, masa mencari identitas dan antisosial,
yang memerlukan penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai, dan minat
baru. Bahkan para tokoh agama pun khawatir karena para remaja cenderung
meragukan konsep dan keyakinan agama, serta mengabaikan nilai-nilai agama dalam
pergaulan sebayanya (Kartono, 1995: 224-238). Mereka saat ini rentan dari
invasi kebudayaan luar yang asing dalam Islam sebagai pengaruh langsung atau
tidak langsung dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan remaja
pada jenjang pendidikan menengah-MTs dan Madrasah Aliyah (MA) adalah jenjang
yang paling kritis. Inilah masa transisi dari masa perkembangan seorang remaja
anak menuju kedewasaan. Pada masa perkembangan itu, remaja ingin hidup mandiri:
mengambil keputusan dan bertindak secara mandiri sesuai dengan keinginannya
dirinya. Pada masa ini pula muncul kesadaran kelompok (group awareness), dan
rasa solidaritass yang tinggi pada sesama anggota kelompok. Kesadaran-kesadaran
itu tidak jarang tersalurkan secara tidak sehat, seperti perkelahian
antarpelajar dan kenakalan lainnya.
Penyelewengan dari
pelajar ini disebabkan disebabkan oleh banyaknya waktu luang mereka, sedangkan
mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan waktu luangnya secara benar menurut
syari’at, menggunakan waktu luang itu untuk kepentingan kemanusiaan.
Kenakalan remaja
terjadi ketika saluran komunikasi dengan lingkungan sosialnya, keluarga,
sekolah dan masyarakat tidak mendukung aspirasi-aspirasi mereka secara
intelektual maupun emosiaonal sesuai tingkat perkembangan jiwa mereka.
B. Inti
Program Pendidikan
Dasar penyusun program
pembelajaran pada jenjang pendidikan menengah haruslah mempertimbangkan
perkembangan psikologi remaja, sehingga bimbingan dan pembinaan kepribadian
remaja secara keseluruhan dapat dilakukan secara efektif. Berikut daftar tugas
perkembangan remaja menurut Havigust (Daradjat, 2006: 128-130) :
1.
Mencapai
hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun
wanita.
2.
Mencapai
peran wanita dan pria
3.
Menerima
keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
4.
Mengharapkan
dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
5.
Mencapai
kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
6.
Mempersiapkan
karier ekonomi
7.
Mempersiapkan
pernikahan dan keluarga
8.
Memperoleh
perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku-mengembangkan ideologi
Dalam pandangan
Islam, pada masa ini perilaku anak tidak lagi ada dalam “kendali” orang tua,
tetapi telah ada dalam kontrol sendiri, sehingga sudah dapat dimintai pertanggungjawaban
secara pribadi. Mereka telah berkewajiban menjalankan kewajiban dasar syari’ah.
Kewajiban dasar syari’at itu terutama shalat dan puasa pada bulan Ramadhan yang
bersifat mahdah, kemudian rukun Islam yang lain, yakni zakat dan berhajike
Baitullah Makkah.
Mempertimbangkan pendapat
Havigust diatas, pendidikan bagi remaja menekankan pada pengembangan kapasitas
intelektual dan kemampuan pengambilan keputusan melalui dialog religius dan
bertindak mandiri dengan mengacu pada kerangka moral agama. Program pendidikan
untuk remaja disusun dengan memperhatikan sungguh-sungguh tugas-tugas
perkembangan remaja, mengembangkan minat dan keinginannya dengan pendekatan
partisipatif untuk mandiri. Misalnya pengajaran tentang dasar-dasar keimanan
perlu disampaikan dengan disertai bukti-bukti empiris dan argumentatif, bukan
sekedar doktrin, sehingga dapat lebih meyakinkan. Demikian juga halnya dengan
peribadatan. Tidak sekedar mengajarkan tatacara (kaifiyat) dan hukum shalat
bagi umat Islam, tetapi dikemukakan juga alasan mengapa menusia harus menyembah
Tuhan (misal sebagai tanda syukur), disamping penjelasan mengenai hikmah
tasyri’ bagi ketenangan jiwa manusia.
Di antara perubahan
yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial pada masa remaja, yang paling
menonjol adalah terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang
singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan
jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada
teman sejenisnya. Etika pergaulan dan keterampilan komunikasi perlu dimiliki
remaja sehingga dapat diterima dalam pergaulan sosial sebayanya dan juga dapat
memahami “kode moral” orang tua berdasarkan ajaran agama Islam dan kepatutan
sosial dalam masyarakat.
Materi ajar yang
penting dalam hal ini adalah mengenalkan kepada remaja mengenai : ‘aurat,
hijab, etika pergaulan dengan yang bukan mahramnya, isti’zan, adab khitbah
(pertunangan), nikah dan haramnya zina. Materi ajar ini secara umum mengarahkan
remaja pafa hubungan heteroseksual yang aman dan halal, dan mengantarkan mereka
kepada mempersiapkan pernikahan dan keluarga.
Program pendidikan
untuk remaja dirancang untuk membantu mereka mengenal potensi diri secara
benar, sehingga mereka dapat memimpin diri dan kelompoknya untuk kepentingan
kemanusiaan, serta dapat memanfaatkan waktu luang dengan menjalankan
peran-peran sosialyang menyenangkan dalam acuan nilai-nilai religius islam.
Lulus pendidikan menengah pada usia 18 tahun diharapkan mereka memiliki
kekuatan fisik dan mental sebagaimana Nabi Musa muda memiliki kekuatan fisik dan
daya hidup, memiliki kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi serta
mempertahankan hidupnya dalam menghadapi segala kesulitan hidup (Q.S
As-Syu’ara). Pada masa ini, remaja berintegrasi dengan masyarakat dewasa, ia
tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua tetapi berada
dalam tingkat setara, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Ia berusaha untuk
membentuk struktur kehidupan yang stabil.
C.
Kurikulum
Madrasah
Tujuan
pendidikan Islam di MTs dan Madrasah Aliyah adalah santri menguasai metodologi studi
Islam, sehingga mereka dapat menggali dan mempelajari Islam dari sumbernya,
Alquran dan Hadits secara mandiri, serta dapat memecahkan masalah dengan pendekatan
syariat Islam. Penguasaansantriterhadapilmu-ilmu syariah menjadi dasar kompetensi
mereka menekuni kejuruan IPS dan IPA yang bertugas mengajarkan Islam kepada masyarakat
melalui tabligh dan majelis taklim. Sebagai kelanjutan dari pendidikan dasar
(Madrasah Ibtidaiyah) berbasis masjid, Pesantren menyelenggarakan pendidikan menengah
(MTs danAliyah) berbasis asrama dengan muatan sebagai berikut:
1. Tingkat
MTs (menengah)
a. Kitab
sharf: kailani/Syarah Kailani, nadzammaqshud
b. Kitab
nahw: mulhatul ‘irab, mutamminah, asynawi, alfiyah
c. Kitab
tajwid: tuhfatulathfal, hidayatusshibyan
d. Kitab
fiqh: kifayah al-akhyar, iqna’, minhaj at-thalibin.
e. Kitab
tafsirAlquran: Jalalain, marah Labid (tafsirmunir)
f. dll
2. Tingkat
Madrasah Aliyah (atas)
a. Kitab
sharfwanahw: Asynawi, Alfiyah, IbnAqil
b. Kitab
Mantiq: idhahulmubham
c. Kita
balaghah: jauharilmaqnun, ‘uqudulJuman
d. Kita
tafsir Alquran: jalalain, Tafsirmunir, tafsirbaidhowi
e. Kitab
tasawuf: ihya’ ulumiddin, sairussalikin, dll
f. Dll
D.
Dinamika
Pesantren
1.Akar Tradisi
Perkataan
pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan per- dan akhiran –an berarti
tempat tinggal para santri. Menurut Professor Johns istilah santri berasal dari
bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau sarjana ahli kitab suci Hindu. Kata
shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama
atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Dalam
perkembangan sejarah Indonesia, khususnya Jawa, makna pesantren sebagai tempat belajar
kitab suci dari seorang kiai yang ahli dalam bidang agama dan tata nilai kesopanan,
kesederhanaan, pola hidup, dan kesetaraan sosial yang melingkupinya berkonotasi
langsung dengan ajaran Islam. Bentuk pesantren sebagai hasil cipta akal budi tetap
dan khas, tetapi isinya diganti dengan spirit Islam. Karena itu, pesantren dikenal
sebagai lembaga pendidikan Tradisional umat Islam Indonesia untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
2. Doktrin Pesantren
Landasan
kualitas kesungguhan pendidik di pesantren dirumuskan dalam:
1. Mujahadah
2. Ijtihad
3. Jihad
Kualitas
ruhani diukur dengan kesanggupannya melakukan mujahadah kepada Allah. Kualitas
intelektual diukur dengan kesanggupannya melakukan ijtihad dalam menjawab
problem kehidupan. Dan kualitas jasad diukur dengan kemampuan dalam
melaksanakan jidah fi sabilillah.
a. Mujahadah:
Landasan gerakan moral dan spiritual
Gerakan
moral dan spiritual pesantren dimotori organisasi tarekat tentang cara
mendekatkan diri kepada Allah, yang menekankan amalan praktis. Kehadiran
pesantren menyatu dengan dinamika kehidupan nyata dalam masyarakat. Adanya
nilai “Putih” dan nilai “Hitam. Nilai putih merupakan nilai moral keagamaan
yang berupaya untuk menggeser nilai hitam yang ada di di masyarakat, yang
merupakan nilai-nilai tidak terpuji.
Pesantren
dengan semangat sufismenya berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan
pembangunan moral masyarakat. Pesantren menjadi pusat keilmuan dan tempat
ruhani berdasarkan sufiisme Ghazalian yang dipelajari melaluui kitabnya ihya’
ulumiddin.
b. Ijtihad:
Landasan gerakan intelektual dan konsientiasi
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang pada awalnya hanya
untuk tempat mengaji, yang berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus
memadukan tiga unsur pendidikan, yakni:
1. Ibadah,
untuk menanamkan iman
2. Tablig,
untuk menyebarkan ilmu
3. Amal,
untuk mengaplikasikan ilmu di kegiatan masyarakat
Semua
materi pengajian bersifat aplikatif yang dituntuk pengalamannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga penekanannya bukan pada banyaknya materi, namun pada
kehidupan nyata.
Pesantren
mengajarkan tata bahasa Arab dan logika untuk bekerja mempelajari Al-Qur’an dan
sunnah Nabawiyah secara mendalam melalui kitab kuning, warisan khazanah, dan
mendakwhkannya. Pesantren meneguhkan image sebagai lembaga “Tafaqquh fi
al-Din”, yang berfungsi:
1. Transmissi
dan transfer ilmu Islam
2. Pemelihara
tradisi Islam
3. Reproduksi
Ulama.
Dasar
doktrin intelektual, sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Q.S. At-Taubah: 122.
Para
kiyai menafsirkan Q.S At-Taubah:122 merujuk pada pandangan Ahmad bin Ali Ibn
Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, bahawa Q.S At-Taubah:
122 mengandung tiga pokok pikiran :
1. Keutamaan
tafaqquh fi al-din
2. Pemberi
ilmu pada hakikatnya adalah Allah
3. Jaminan
bahwa ada sebagian umat muslim yang konsisten pada kebenaran hingga hari kiamat.
Doktrin
pertama, tentang keutamaan tafaqquh fi al-din menegaskan bahwa syarat
diterimanya amal perbuatan adalah ilmu. Amal tanpa ilmu akan ditolak. Karena
itu, Islam mengajarkan kepada umat muslimin untuk belajar sepanjang hayat,
sejak dalam kandungan hingga wafat. Tujuan belajar menurut Ibn ‘Abbas adalah
agar menjadi insan rabbani yang hukana’, fuqaha, sekaligus ‘ulama.
Doktrin
kedua, menegaskan bahwa kebenaran hanyalah milik Allah. Pengetahuan manusia
tentang kebenaran tidak hanya diperoleh melalui usaha (belajar), melainkan juga
anugerah Allah kepada orang-orang yang dibukakan mata hatinya. Allah
mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dan disini peran
seorang guru ataupun ilmuwan untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Mengajar
adalah memberikan ilmu yang secara umum memberikan ilmu sicara efektif kepada
seseorang, dan mengajar merupakan bagian dari sedekah jariyah.
Doktrin
ketiga mengenai sekelompok umat muslim yang konsisten dalam kebenaran. Menurut
Imam Bukhari mereka adalah ahl ‘ilm. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mereka
adalah ahl Hadits. Sedangkan menurut Imam Nawawi, mereka adalah golongan
intelektual, dapat disebut mujahid, faqih, muhaddits, atau zahid, yang selalu
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
b. Jihad:
Landasan gerakan sosial dan radikalisme politik
Dalam
konteks politik, Islam berfungsi sebagai kelengkapan ideologis yang amat kuat
untuk melawan kaum kafir Belanda. Islam di tengah perjuanga kemerdekaan efektif
sebagai senjata ideologis-politik dn pengkal tolak kesadaran kebangsaan, cinta
tanah air, dan perlawanan kepada penjajah. Lantunan takbir, “Allahu Akbar”
selalu bisa membuat semangat para santri menjadi semangat kembali dalam
bertempur. Dalam kondisi tertentu, Pesantren dijadikan markas perjuangan,
tempat berunding, dan menyusun strategi, bahkan sebagai gudang rahasia untuk
menyimpan senjata.
Para
kiyai memperkuat garis perjuangan dengan semangat “hubbul wathon minal iman”. Membela Republik Indonesia merupakan
perang di jalan Allah, dan gugur dalam perang adalah mati syahid.
Sesuai
dengan firman Allah SWT. Q.S At-Atubah: 111
Kebencian
dan penentangan kalangan pesantren terhadap Belanda dimaneisfestasikan dalam
tiga bentuk aksi.
1. Uzlah atau pengasingan diri. Hal ini
merupakan penyebab pesanren berada di desa. Karena para santri menyingkir ke
desa atau tempat terpencil yang jauh dari jangkauan kolonial Belanda.
2. Bersikap non-kooperatif dan mengadakan
perlawanan secara diam-diam. Para kiyai selalu menumbuhkan semangat jihad para
santri mereka untuk membela Islam dan menentang penjajah.
3. Berontak dan mengadakan perlawanan
fisik terhadap Belanda. Motivasi jihad ini bukan saja dilandasi semangat cinta
tanah air dan bela negara, namun didorong dalam kegiatan amar ma’ruf nahi
munkar, yang bisa di aplikasikan dalam bentuk unpaya untuk merombak tatanan sosial-ekonomi-politik
agar sesuai dengan aturan agama.
3. Evolusi Sistem Pendidikan Pesantren
Pendidikan pesantren merupakan
kelanjutan dari pengajian Al-Quran tingkat dasar di rumah guru ngaji. Pada tingkat
paling rendah (tingkat pertama) bermula pada waktu anak-anak berumur-umur kira-kira
5 tahun, bahkan ketika usia Batita, menerima pelajaran menghapal beberapa surat
pendek membaca Juz’amma dari orang tuanya atau belajar bersama guru Ngaji tetangganya.
Setelah mereka umur 7 atau 8 tahun belajar mengajar (membaca alphabet Arab dan secara
bertahap diajar untuk dapat membaca Al-Quran sesuai mahkraj al-huruf dan tajwid).
Bagi
beberapa anak yang berbakat dari keluarga tertentu dapat melanjutkan pelajaran pada
tingkat kedua untuk ngaji kitab. Aktivitas ngaji kitab dimaksud berupa membaca dan
menerjemahkan kitab-kitab kuning yang elementer yang ditulis dalam Bahasa Arab.
Sehingga setelah berkenalan dengan beberapa elementer, mereka memperdalam Bahasa
Arab sebagai alat untuk dapat memperdalam buku-buku tentang fiqh, ushulfiqh,
tafsir, hadits, ahad, tarikh, tauhid, akhlaq, dan tasawuf.
Perkembangan dan struktur pesantren
(Dhofier, 1994: 21).
Pesantren tingkat tinggi
Pesantren tingkat menengah
Pesantren tingkat dasar
Pengajian kitab
Pengajian membaca
Al-Qur’an
Seorang guru
ngaji yang ingin mengembangkan pengajian
Al-Quran yang diselenggarakannya menjadi pesantren, pertama-tama biasanya akan
mendirikan masjid (langgar) di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas
perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren.
Di masjid (langgar) tersebut sang kiai menanamkan disiplin para santri dalam mengerjakan
kewajiban shalat 5 waktu dan kewajiban agama lainnya. Di masjid (langgar) itu
pula diajarkan kitab-kitab islam klasik; mulai yang bersifat dasar, menengah,
sampai mahir. Dalam kelembagaan pendidikan model ini, para santri tidur di
serambi masjid atau tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar rumah kiai dan
masjid itu.
Di dalam system
pesantren terdapat 5 subsistem yang bersifat organic, yakni: pondok, masjid,
santri, pengajaran kitab-kitab kuning, dan kiai. Ini berarti bahwa suatu lembaga
pengajian yang lebih berkembang hingga memiliki kelima subsistem tersebut akan berubah
statusnya menjadi pesantren. Jadi, pesantren pada dasarnya merupakan asrama
(pondok) pendidikan Islam tradisional dimana parasantri tinggal bersama dan belajar
Al-Quran, hadis dan segala warisan khazanah intelektual muslim lewat kitab kuning
di bawah bimbingan seorang atau lebih kiai.
Penopang utama bagi
pesantren untuk dapat terus berkembang adalah pondok. Meskipun kondisi pondok sangat
sederhana dan penuh sesak, pondok merupakan elemen penting dari tradisi pesantren.
Menurut Zamakh syari Dhofier ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan
asrama, yaitu sebagai berikut:
1.
Kemasyhruran
kiai seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri
dari jauh. Untuk dapat menggali dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu
yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap
di dekat kediaman kiai.
2.
Hampir
semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi)
yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya
suatu asrama khusus bagi para santri.
3.
Ada
sikap timbal balik antara kiai dan santri dimana para santri menganggap kiainya
seolah-olah bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap para santri sebagai titipan
Allah yang harus senantiasa dilindungi. Sikap ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan
untuk saling berdekatan terus menerus. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung
jawab di pihak kiai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di
samping itu dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada sang kiainya,
sehingga para kiai memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi
kepentingan pesantren dan keluarga kiai.
Dalam perkembangan
selanjutnya, pada awal abad ke-19 pesantren memiliki subsistem baru yang
bersifat organic (selain pondok, masjid, santri, pengajian kitab-kitab kuning,
dan kiai), yakni madrasah. Madrasah dirancang sebagai sekolah agama dengan kurikulum
dan system pengajaran ala pesantren yang bersifat klasikal dan berjenjang,
mulai tingkat Ibtidaiyah, tsanawiyah, ‘Aliyah, dan Muta’allimin. Pesantren pun
dilengkapi dengan kantor pengurus, perpustakaan, laboratorium, koeparasi,
sarana pengembangan life skill dan vocational training, seperti: perbengkelan,
pertukangan kayu dan kerajinan tangan, pertanian, peternakan dan menjahit, dll.
Pada tahap ini, pesantren bahkan menjadi model pengembangan Sekolah Unggulan dalam
suatu konsep: Boarding School (sekolah berasrama).
E. Dinamika
Madrasah dan Sekolah Islam
Dalam
sistem madarasah penyelenggaraan pendidikan menerapkan sistem kelas berjenjang,
menggunakan papan tulis, meja dan bangku, dan program belajarnya mencakup
bidang ilmu yang luas, dengan pelajaran agama sebagai inti kurikulum. Kehadiran
madrasah dalam sistem pendidikan pesantren merupakan keberhasilan para kyai mengkonsolidasikan
kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah Belanda (Hasbullah,
1996: 163). Madarasah merupakan proses kreatif yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan
Muhammad Abduh di Mesir (Noer, 1995: 55). adaptasi pesantren terhadap sekolah
yang dikembangkan oleh Belanda, sekaligus usaha penyempurnaan internal terhadap
sistempesantren kearah suatu sistem persekolahan yang lebih memungkinkan
lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya
masalah kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
Perhatian
pemerintah terhadap madarasah dan pesantren semakin kuat dengan peran
Departemen Agama yang mulai resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946. Dalam
rangka menjalankan tugas pokok layanan pendidikan agama, pada tahun 1950, bagian
pendidikan Departemen Agama membuka dua lembaga dan madrasah profesional
keguruan: (1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama
Islam (SGHAI). SGAI terdiri dari dua jenjang: (a) jenjeng jangka anjang yang
ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukan bagi siswa tamatan SR/MI, dan (b)
jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukan bagi lulusan
SMP/MTs. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukan bagi lulusan
SMP/MTs. SGHAI memiliki 4 bagian:
1. Bagian
“A” untuk mencetak guru kesusastraan.
2. Bagian
“B” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti.
3. Bagian
“C” untuk mencetak guru agama.
4. Bagian
“D” untuk mencetak guru pendidikan agama.
Perhatian
pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan ditandai dengan tugas
Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP terkait pesantren dan madrasah
tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika UU No. 4 Tahun 1950 dan UU No. 12 Tahun
1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran diundangkan, madrasah dan
pesantren tidak dimasukkan sama sekali. Undang-undang hanya mengatur masalah
pendidikan agama disekolah dan pengakuan belajar disekolah agama yang telah
mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap tela memenuhi kewajiban belajar.
Keenggana pemerintah, dalam hai ini Departemen Pendidikan & Kebudayaan
memasukkan madrasah dalam sistem pendidikan nasional berpijak pada argumen
bahwa sistem pendidikan madrasah tidak menggunakan kurikulum yang standar,
struktur organisasinya tidak seragam, dan manajemen madrasah tidak dapat
dikontrol oleh pemerintah.
Menjawab
hal ini, Departemen Agama melakukan penataan melalui Keputusan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1952, yang menyatakan bahwa madrasah ialah “tempat pendidikan yang
telah diatur sebagai sekolah, memuat pendidikan umum dan menjadikan ilmu
pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya”. Jenjang pendidikan pada
madrasah menurut ketentuan peraturan ini tersusun dalam tiga tingkat: [I]
Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, [II] Madrasah Tsnawiyah 3 tahun, dan [III]
Madrasah Aliyah 3 tahun. Dalam peraturan ini disebutkan juga bahwa di ketiga
tingkat madrasah tersebut minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran
akademik yang diajarkan disekolah umum.
Diskriminasi
terhadap madrasah memuncak dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun
1972 dan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya
melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian
umat Islam memandang Kepres dan Inpres ini sebagai manuver untuk mengabaikan
peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan
umat Islam.
Menteri
Agama saat itu, Prof. Dr. Mukti Ali, pada tanggal 24 Maret 1975 menerbitkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang peningkatan mutu pendidikan
pada madrasah. Isi SKB memberikan pengakuan eksistensi dan pengakuan madrasah.
Dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 tahun 1989 kedudukan madrasah
berubah menjadi sekolah umum berciri khas agama Islam dengan komposisi
kurikulum 100% sama dengan sekolah umum, mulai jenjang MI-SD, MTs-SMP, dan
MA-SMA. Pada era reformasi, dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun
2007 tentang Pendidikan Agamadan Pendidikan Keagamaan, madrasah mendapat
pengakuan pemerintah dan sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Pengakuan
yuridis terhadap eksistemsi madrasah diniyah sebagai satu kesatuan dalam sistem
pendidikan nasional terbaca dengan jelas pada Peraturan Pemerinyah No. 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 10 dan 11
berikut:
Pasal
10
(1) Pendidikan
keagaaman menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama.
(2) Penyelenggaraan
pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama
bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau
melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
Pasal
11
(1) Peserta
didik pada pendidikan keagamaan jejang pendidikan dasar dan menengah yang
terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD),
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah
(MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat
setelah memenuhi persyaratan.
(2) Hasil
pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat
dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Peserta
didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh
ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang
berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar