Minggu, 03 Januari 2016

KARAKTERISTIK PESANTREN DAN MADRASAH



PESANTREN DAN MADRASAH BERASRAMA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Rumusan Masalah
1.        Bagaimana karakteristik peserta didik ?
2.        Apa saja inti dari progam pendidikan ?
3.        Apa saja kurikulum madrasah di Indonesia ?
4.        Bagaimana dinamika pesantren di Indonesia ?
5.        Bagaimana dinamika madrasah dan sekolah Islam di Indonesia ?
B.     Tujuan
1.        Untuk menjelaskan karakteristik peserta didik.
2.        Untuk menjelaskan inti program pendidikan.
3.        Untuk menjelaskan kurikulum madrasah di Indonesia.
4.        Untuk menjelaskan dinamika pesantren di Indonesia.
5.        Untuk menjelaskan dinamika madrasah dan sekolah Islam di Indonesia.










BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Karakteristik Peserta Didik
Peserta didik madrasah atau Pesantren adalah remaja yang dalam psikologi modern disebut “masa pubertas”, atau “usia kedewasaan” (Hurlock, 1999: 184). Dalam tradisi Islam disebut fase ‘aqil-baligh. Pada fase perkembangan ‘aqil Baligh anak telah mengalami kematangan seksual secara biologis, dan pada saat yang sama memiliki kemampuan membuat pilihan dan inisiatif yang memungkinkan ia membuat perubahan pada dirinya atau lingkungannya, menjadi lebih baik atau buruk. Pada fase perkembangan ‘aqil-baligh, seseorang diharapkan sudah bisa bertanggung jawab dalam lingkup ibadah, mu’amalah, munakah, dan jinayah (Adhim, 1996: 14). Pada’aqil baligh, seseorang dianggap layak menerima beban tugas sebagai mukallaf.
Karakteristik manusia yang layak (ahliyah) menerima taklif Allah swt. Adalah yang memiliki kematangan biologis , kecerdasan intelektual dan kehendak bebas.
Masa remaja atau masa pubertas, ditandai dengan pertumbuhan dan perubahan fisik yang sangat pesat. Ada empat perubahan tubuh yang utama, yaitu perubahan besarnya tubuh, perubahan proporsi tubuh, perubahan ciri-ciri seks primer (kematangan kelenjar kelamin, yaitu testes untuk laki-laki dan ovarium untuk anak gadis), dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder – ciri-ciri fisik yang membedakan pria dari wanita. Kriteria yang peling umum untuk menandai kematangan biologis seseorang adalah ketika mengalami (menarche) pada perempuan dan ihtilam (basah malam) atau nocturnal ejaculation pada anak laki-laki (Lathif, 2000: 3).
Perkembangan manusia pada fase pubertas oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai periode peralihan, masa ambang dewasa, periode perubahan, masa mencari identitas dan antisosial, yang memerlukan penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai, dan minat baru. Bahkan para tokoh agama pun khawatir karena para remaja cenderung meragukan konsep dan keyakinan agama, serta mengabaikan nilai-nilai agama dalam pergaulan sebayanya (Kartono, 1995: 224-238). Mereka saat ini rentan dari invasi kebudayaan luar yang asing dalam Islam sebagai pengaruh langsung atau tidak langsung dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan remaja pada jenjang pendidikan menengah-MTs dan Madrasah Aliyah (MA) adalah jenjang yang paling kritis. Inilah masa transisi dari masa perkembangan seorang remaja anak menuju kedewasaan. Pada masa perkembangan itu, remaja ingin hidup mandiri: mengambil keputusan dan bertindak secara mandiri sesuai dengan keinginannya dirinya. Pada masa ini pula muncul kesadaran kelompok (group awareness), dan rasa solidaritass yang tinggi pada sesama anggota kelompok. Kesadaran-kesadaran itu tidak jarang tersalurkan secara tidak sehat, seperti perkelahian antarpelajar dan kenakalan lainnya.
Penyelewengan dari pelajar ini disebabkan disebabkan oleh banyaknya waktu luang mereka, sedangkan mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan waktu luangnya secara benar menurut syari’at, menggunakan waktu luang itu untuk kepentingan kemanusiaan.
Kenakalan remaja terjadi ketika saluran komunikasi dengan lingkungan sosialnya, keluarga, sekolah dan masyarakat tidak mendukung aspirasi-aspirasi mereka secara intelektual maupun emosiaonal sesuai tingkat perkembangan jiwa mereka.
B.     Inti Program Pendidikan
Dasar penyusun program pembelajaran pada jenjang pendidikan menengah haruslah mempertimbangkan perkembangan psikologi remaja, sehingga bimbingan dan pembinaan kepribadian remaja secara keseluruhan dapat dilakukan secara efektif. Berikut daftar tugas perkembangan remaja menurut Havigust (Daradjat, 2006: 128-130) :
1.      Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.
2.      Mencapai peran wanita dan pria
3.      Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
4.      Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
5.      Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
6.      Mempersiapkan karier ekonomi
7.      Mempersiapkan pernikahan dan keluarga
8.      Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi
Dalam pandangan Islam, pada masa ini perilaku anak tidak lagi ada dalam “kendali” orang tua, tetapi telah ada dalam kontrol sendiri, sehingga sudah dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi. Mereka telah berkewajiban menjalankan kewajiban dasar syari’ah. Kewajiban dasar syari’at itu terutama shalat dan puasa pada bulan Ramadhan yang bersifat mahdah, kemudian rukun Islam yang lain, yakni zakat dan berhajike Baitullah Makkah.
Mempertimbangkan pendapat Havigust diatas, pendidikan bagi remaja menekankan pada pengembangan kapasitas intelektual dan kemampuan pengambilan keputusan melalui dialog religius dan bertindak mandiri dengan mengacu pada kerangka moral agama. Program pendidikan untuk remaja disusun dengan memperhatikan sungguh-sungguh tugas-tugas perkembangan remaja, mengembangkan minat dan keinginannya dengan pendekatan partisipatif untuk mandiri. Misalnya pengajaran tentang dasar-dasar keimanan perlu disampaikan dengan disertai bukti-bukti empiris dan argumentatif, bukan sekedar doktrin, sehingga dapat lebih meyakinkan. Demikian juga halnya dengan peribadatan. Tidak sekedar mengajarkan tatacara (kaifiyat) dan hukum shalat bagi umat Islam, tetapi dikemukakan juga alasan mengapa menusia harus menyembah Tuhan (misal sebagai tanda syukur), disamping penjelasan mengenai hikmah tasyri’ bagi ketenangan jiwa manusia.
Di antara perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial pada masa remaja, yang paling menonjol adalah terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenisnya. Etika pergaulan dan keterampilan komunikasi perlu dimiliki remaja sehingga dapat diterima dalam pergaulan sosial sebayanya dan juga dapat memahami “kode moral” orang tua berdasarkan ajaran agama Islam dan kepatutan sosial dalam masyarakat.
Materi ajar yang penting dalam hal ini adalah mengenalkan kepada remaja mengenai : ‘aurat, hijab, etika pergaulan dengan yang bukan mahramnya, isti’zan, adab khitbah (pertunangan), nikah dan haramnya zina. Materi ajar ini secara umum mengarahkan remaja pafa hubungan heteroseksual yang aman dan halal, dan mengantarkan mereka kepada mempersiapkan pernikahan dan keluarga.
Program pendidikan untuk remaja dirancang untuk membantu mereka mengenal potensi diri secara benar, sehingga mereka dapat memimpin diri dan kelompoknya untuk kepentingan kemanusiaan, serta dapat memanfaatkan waktu luang dengan menjalankan peran-peran sosialyang menyenangkan dalam acuan nilai-nilai religius islam. Lulus pendidikan menengah pada usia 18 tahun diharapkan mereka memiliki kekuatan fisik dan mental sebagaimana Nabi Musa muda memiliki kekuatan fisik dan daya hidup, memiliki kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi serta mempertahankan hidupnya dalam menghadapi segala kesulitan hidup (Q.S As-Syu’ara). Pada masa ini, remaja berintegrasi dengan masyarakat dewasa, ia tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua tetapi berada dalam tingkat setara, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Ia berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil.
C.    Kurikulum Madrasah
Tujuan pendidikan Islam di MTs dan Madrasah Aliyah adalah santri menguasai metodologi studi Islam, sehingga mereka dapat menggali dan mempelajari Islam dari sumbernya, Alquran dan Hadits secara mandiri, serta dapat memecahkan masalah dengan pendekatan syariat Islam. Penguasaansantriterhadapilmu-ilmu syariah menjadi dasar kompetensi mereka menekuni kejuruan IPS dan IPA yang bertugas mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui tabligh dan majelis taklim. Sebagai kelanjutan dari pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah) berbasis masjid, Pesantren menyelenggarakan pendidikan menengah (MTs danAliyah) berbasis asrama dengan muatan sebagai berikut:
1.      Tingkat MTs (menengah)
a.       Kitab sharf: kailani/Syarah Kailani, nadzammaqshud
b.      Kitab nahw: mulhatul ‘irab, mutamminah, asynawi, alfiyah
c.       Kitab tajwid: tuhfatulathfal, hidayatusshibyan
d.      Kitab fiqh: kifayah al-akhyar, iqna’, minhaj at-thalibin.
e.       Kitab tafsirAlquran: Jalalain, marah Labid (tafsirmunir)
f.       dll
2.      Tingkat Madrasah Aliyah (atas)
a.       Kitab sharfwanahw: Asynawi, Alfiyah, IbnAqil
b.      Kitab Mantiq: idhahulmubham
c.       Kita balaghah: jauharilmaqnun, ‘uqudulJuman
d.      Kita tafsir Alquran: jalalain, Tafsirmunir, tafsirbaidhowi
e.       Kitab tasawuf: ihya’ ulumiddin, sairussalikin, dll
f.       Dll
D.    Dinamika Pesantren
1.Akar Tradisi
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan per- dan akhiran –an berarti tempat tinggal para santri. Menurut Professor Johns istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau sarjana ahli kitab suci Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, khususnya Jawa, makna pesantren sebagai tempat belajar kitab suci dari seorang kiai yang ahli dalam bidang agama dan tata nilai kesopanan, kesederhanaan, pola hidup, dan kesetaraan sosial yang melingkupinya berkonotasi langsung dengan ajaran Islam. Bentuk pesantren sebagai hasil cipta akal budi tetap dan khas, tetapi isinya diganti dengan spirit Islam. Karena itu, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Tradisional umat Islam Indonesia untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
2.         Doktrin Pesantren
            Landasan kualitas kesungguhan pendidik di pesantren dirumuskan dalam:
1.         Mujahadah
2.         Ijtihad
3.         Jihad
            Kualitas ruhani diukur dengan kesanggupannya melakukan mujahadah kepada Allah. Kualitas intelektual diukur dengan kesanggupannya melakukan ijtihad dalam menjawab problem kehidupan. Dan kualitas jasad diukur dengan kemampuan dalam melaksanakan jidah fi sabilillah.
a.         Mujahadah: Landasan gerakan moral dan spiritual
            Gerakan moral dan spiritual pesantren dimotori organisasi tarekat tentang cara mendekatkan diri kepada Allah, yang menekankan amalan praktis. Kehadiran pesantren menyatu dengan dinamika kehidupan nyata dalam masyarakat. Adanya nilai “Putih” dan nilai “Hitam. Nilai putih merupakan nilai moral keagamaan yang berupaya untuk menggeser nilai hitam yang ada di di masyarakat, yang merupakan nilai-nilai tidak terpuji.
            Pesantren dengan semangat sufismenya berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pembangunan moral masyarakat. Pesantren menjadi pusat keilmuan dan tempat ruhani berdasarkan sufiisme Ghazalian yang dipelajari melaluui kitabnya ihya’ ulumiddin.
b.         Ijtihad: Landasan gerakan intelektual dan konsientiasi
            Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang pada awalnya hanya untuk tempat mengaji, yang berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni:
1.         Ibadah, untuk menanamkan iman
2.         Tablig, untuk menyebarkan ilmu
3.         Amal, untuk mengaplikasikan ilmu di kegiatan masyarakat
            Semua materi pengajian bersifat aplikatif yang dituntuk pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penekanannya bukan pada banyaknya materi, namun pada kehidupan nyata.
            Pesantren mengajarkan tata bahasa Arab dan logika untuk bekerja mempelajari Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah secara mendalam melalui kitab kuning, warisan khazanah, dan mendakwhkannya. Pesantren meneguhkan image sebagai lembaga “Tafaqquh fi al-Din”, yang berfungsi:
1.         Transmissi dan transfer ilmu Islam
2.         Pemelihara tradisi Islam
3.         Reproduksi Ulama.
            Dasar doktrin intelektual, sesuai dengan firman Allah SWT. dalam Q.S. At-Taubah: 122.
            Para kiyai menafsirkan Q.S At-Taubah:122 merujuk pada pandangan Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, bahawa Q.S At-Taubah: 122 mengandung tiga pokok pikiran :
1.         Keutamaan tafaqquh fi al-din
2.         Pemberi ilmu pada hakikatnya adalah Allah
3.         Jaminan bahwa ada sebagian umat muslim yang konsisten pada kebenaran hingga hari       kiamat.
            Doktrin pertama, tentang keutamaan tafaqquh fi al-din menegaskan bahwa syarat diterimanya amal perbuatan adalah ilmu. Amal tanpa ilmu akan ditolak. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umat muslimin untuk belajar sepanjang hayat, sejak dalam kandungan hingga wafat. Tujuan belajar menurut Ibn ‘Abbas adalah agar menjadi insan rabbani yang hukana’, fuqaha, sekaligus ‘ulama.
            Doktrin kedua, menegaskan bahwa kebenaran hanyalah milik Allah. Pengetahuan manusia tentang kebenaran tidak hanya diperoleh melalui usaha (belajar), melainkan juga anugerah Allah kepada orang-orang yang dibukakan mata hatinya. Allah mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dan disini peran seorang guru ataupun ilmuwan untuk menyebarkan ilmu yang dimilikinya. Mengajar adalah memberikan ilmu yang secara umum memberikan ilmu sicara efektif kepada seseorang, dan mengajar merupakan bagian dari sedekah jariyah.
            Doktrin ketiga mengenai sekelompok umat muslim yang konsisten dalam kebenaran. Menurut Imam Bukhari mereka adalah ahl ‘ilm. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mereka adalah ahl Hadits. Sedangkan menurut Imam Nawawi, mereka adalah golongan intelektual, dapat disebut mujahid, faqih, muhaddits, atau zahid, yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
b.         Jihad: Landasan gerakan sosial dan radikalisme politik
            Dalam konteks politik, Islam berfungsi sebagai kelengkapan ideologis yang amat kuat untuk melawan kaum kafir Belanda. Islam di tengah perjuanga kemerdekaan efektif sebagai senjata ideologis-politik dn pengkal tolak kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, dan perlawanan kepada penjajah. Lantunan takbir, “Allahu Akbar” selalu bisa membuat semangat para santri menjadi semangat kembali dalam bertempur. Dalam kondisi tertentu, Pesantren dijadikan markas perjuangan, tempat berunding, dan menyusun strategi, bahkan sebagai gudang rahasia untuk menyimpan senjata.
            Para kiyai memperkuat garis perjuangan dengan semangat “hubbul wathon minal iman”. Membela Republik Indonesia merupakan perang di jalan Allah, dan gugur dalam perang adalah mati syahid.
            Sesuai dengan firman Allah SWT. Q.S At-Atubah: 111
            Kebencian dan penentangan kalangan pesantren terhadap Belanda dimaneisfestasikan dalam tiga bentuk aksi.
            1.         Uzlah atau pengasingan diri. Hal ini merupakan penyebab pesanren berada di desa. Karena para santri menyingkir ke desa atau tempat terpencil yang jauh dari jangkauan kolonial Belanda.
            2.         Bersikap non-kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-diam. Para kiyai selalu menumbuhkan semangat jihad para santri mereka untuk membela Islam dan menentang penjajah.
            3.         Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda. Motivasi jihad ini bukan saja dilandasi semangat cinta tanah air dan bela negara, namun didorong dalam kegiatan amar ma’ruf nahi munkar, yang bisa di aplikasikan dalam bentuk unpaya untuk         merombak tatanan sosial-ekonomi-politik agar sesuai dengan aturan agama.
3. Evolusi Sistem Pendidikan Pesantren
            Pendidikan pesantren merupakan kelanjutan dari pengajian Al-Quran tingkat dasar di rumah guru ngaji. Pada tingkat paling rendah (tingkat pertama) bermula pada waktu anak-anak berumur-umur kira-kira 5 tahun, bahkan ketika usia Batita, menerima pelajaran menghapal beberapa surat pendek membaca Juz’amma dari orang tuanya atau belajar bersama guru Ngaji tetangganya. Setelah mereka umur 7 atau 8 tahun belajar mengajar (membaca alphabet Arab dan secara bertahap diajar untuk dapat membaca Al-Quran sesuai mahkraj al-huruf dan tajwid).
            Bagi beberapa anak yang berbakat dari keluarga tertentu dapat melanjutkan pelajaran pada tingkat kedua untuk ngaji kitab. Aktivitas ngaji kitab dimaksud berupa membaca dan menerjemahkan kitab-kitab kuning yang elementer yang ditulis dalam Bahasa Arab. Sehingga setelah berkenalan dengan beberapa elementer, mereka memperdalam Bahasa Arab sebagai alat untuk dapat memperdalam buku-buku tentang fiqh, ushulfiqh, tafsir, hadits, ahad, tarikh, tauhid, akhlaq, dan tasawuf.
Perkembangan dan struktur pesantren (Dhofier, 1994: 21).
Pesantren tingkat tinggi

Pesantren tingkat menengah

Pesantren tingkat dasar

Pengajian kitab

Pengajian membaca Al-Qur’an
Seorang guru ngaji  yang ingin mengembangkan pengajian Al-Quran yang diselenggarakannya menjadi pesantren, pertama-tama biasanya akan mendirikan masjid (langgar) di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Di masjid (langgar) tersebut sang kiai menanamkan disiplin para santri dalam mengerjakan kewajiban shalat 5 waktu dan kewajiban agama lainnya. Di masjid (langgar) itu pula diajarkan kitab-kitab islam klasik; mulai yang bersifat dasar, menengah, sampai mahir. Dalam kelembagaan pendidikan model ini, para santri tidur di serambi masjid atau tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar rumah kiai dan masjid itu.
Di dalam system pesantren terdapat 5 subsistem yang bersifat organic, yakni: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab kuning, dan kiai. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang lebih berkembang hingga memiliki kelima subsistem tersebut akan berubah statusnya menjadi pesantren. Jadi, pesantren pada dasarnya merupakan asrama (pondok) pendidikan Islam tradisional dimana parasantri tinggal bersama dan belajar Al-Quran, hadis dan segala warisan khazanah intelektual muslim lewat kitab kuning di bawah bimbingan seorang atau lebih kiai.
Penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang adalah pondok. Meskipun kondisi pondok sangat sederhana dan penuh sesak, pondok merupakan elemen penting dari tradisi pesantren. Menurut Zamakh syari Dhofier ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama, yaitu sebagai berikut:
1.      Kemasyhruran kiai seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kiai.
2.      Hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.
3.      Ada sikap timbal balik antara kiai dan santri dimana para santri menganggap kiainya seolah-olah bapaknya sendiri, sedangkan kiai menganggap para santri sebagai titipan Allah yang harus senantiasa dilindungi. Sikap ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kiai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada sang kiainya, sehingga para kiai memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kiai.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada awal abad ke-19 pesantren memiliki subsistem baru yang bersifat organic (selain pondok, masjid, santri, pengajian kitab-kitab kuning, dan kiai), yakni madrasah. Madrasah dirancang sebagai sekolah agama dengan kurikulum dan system pengajaran ala pesantren yang bersifat klasikal dan berjenjang, mulai tingkat Ibtidaiyah, tsanawiyah, ‘Aliyah, dan Muta’allimin. Pesantren pun dilengkapi dengan kantor pengurus, perpustakaan, laboratorium, koeparasi, sarana pengembangan life skill dan vocational training, seperti: perbengkelan, pertukangan kayu dan kerajinan tangan, pertanian, peternakan dan menjahit, dll. Pada tahap ini, pesantren bahkan menjadi model pengembangan Sekolah Unggulan dalam suatu konsep: Boarding School (sekolah berasrama).
E.     Dinamika Madrasah dan Sekolah Islam
Dalam sistem madarasah penyelenggaraan pendidikan menerapkan sistem kelas berjenjang, menggunakan papan tulis, meja dan bangku, dan program belajarnya mencakup bidang ilmu yang luas, dengan pelajaran agama sebagai inti kurikulum. Kehadiran madrasah dalam sistem pendidikan pesantren merupakan keberhasilan para kyai mengkonsolidasikan kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah Belanda (Hasbullah, 1996: 163). Madarasah merupakan proses kreatif yang dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Muhammad Abduh di Mesir (Noer, 1995: 55). adaptasi pesantren terhadap sekolah yang dikembangkan oleh Belanda, sekaligus usaha penyempurnaan internal terhadap sistempesantren kearah suatu sistem persekolahan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
Perhatian pemerintah terhadap madarasah dan pesantren semakin kuat dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946. Dalam rangka menjalankan tugas pokok layanan pendidikan agama, pada tahun 1950, bagian pendidikan Departemen Agama membuka dua lembaga dan madrasah profesional keguruan: (1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI terdiri dari dua jenjang: (a) jenjeng jangka anjang yang ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukan bagi siswa tamatan SR/MI, dan (b) jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukan bagi lulusan SMP/MTs. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukan bagi lulusan SMP/MTs. SGHAI memiliki 4 bagian:
1.      Bagian “A” untuk mencetak guru kesusastraan.
2.      Bagian “B” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti.
3.      Bagian “C” untuk mencetak guru agama.
4.      Bagian “D” untuk mencetak guru pendidikan agama.
Perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP terkait pesantren dan madrasah tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika UU No. 4 Tahun 1950 dan UU No. 12 Tahun 1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran diundangkan, madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali. Undang-undang hanya mengatur masalah pendidikan agama disekolah dan pengakuan belajar disekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap tela memenuhi kewajiban belajar. Keenggana pemerintah, dalam hai ini Departemen Pendidikan & Kebudayaan memasukkan madrasah dalam sistem pendidikan nasional berpijak pada argumen bahwa sistem pendidikan madrasah tidak menggunakan kurikulum yang standar, struktur organisasinya tidak seragam, dan manajemen madrasah tidak dapat dikontrol oleh pemerintah.
Menjawab hal ini, Departemen Agama melakukan penataan melalui Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 1952, yang menyatakan bahwa madrasah ialah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah, memuat pendidikan umum dan menjadikan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya”. Jenjang pendidikan pada madrasah menurut ketentuan peraturan ini tersusun dalam tiga tingkat: [I] Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, [II] Madrasah Tsnawiyah 3 tahun, dan [III] Madrasah Aliyah 3 tahun. Dalam peraturan ini disebutkan juga bahwa di ketiga tingkat madrasah tersebut minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang diajarkan disekolah umum.
Diskriminasi terhadap madrasah memuncak dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres ini sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam.
Menteri Agama saat itu, Prof. Dr. Mukti Ali, pada tanggal 24 Maret 1975 menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Isi SKB memberikan pengakuan eksistensi dan pengakuan madrasah.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 tahun 1989 kedudukan madrasah berubah menjadi sekolah umum berciri khas agama Islam dengan komposisi kurikulum 100% sama dengan sekolah umum, mulai jenjang MI-SD, MTs-SMP, dan MA-SMA. Pada era reformasi, dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agamadan Pendidikan Keagamaan, madrasah mendapat pengakuan pemerintah dan sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Pengakuan yuridis terhadap eksistemsi madrasah diniyah sebagai satu kesatuan dalam sistem pendidikan nasional terbaca dengan jelas pada Peraturan Pemerinyah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 10 dan 11 berikut:
Pasal 10
(1)   Pendidikan keagaaman menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama.
(2)   Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
Pasal 11
(1)   Peserta didik pada pendidikan keagamaan jejang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan.
(2)   Hasil pendidikan keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3)   Peserta didik pendidikan keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan lainnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar