KANDUNGAN DARI SURAT AL-FATIHAH
DALAM AL-QUR’AN,
surat Al-Fatihah tercatat sebagai surat ke 1, yang terdiri dari 7 ayat. Secara
umum, ayat demi ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an memanglah
penting. Ia tetap menjadi landasan spiritual yang urgen bagi setiap muslim.
Keseluruhan huruf demi huruf yang ada dalam al-Qur’an menjadi pegangan teologis
kaum muslimin yang tidak bisa ditawar lagi. Namun, secara spesifik, surat
al-Fatihah memiliki banyak “kelebihan” dibanding dengan surat-surat lain. Atau,
setidaknya, ia memiliki keistimewaan berbeda dibandingkan dengan keistimewaan
surat lain.
Sekedar menyebut
salah satu keistimewaan surat al-Fatihah adalah bahwa ia merupakan satu-satunya
surat yang wajib dibaca saat seorang muslim melakukan shalat — dan shalat
sendiri merupakan satu-satunya format ibadah vertikal yang tidak bisa
digantikan dengan apapun. Nabi Muhammad Saw bahkan bersabda bahwa shalat
seorang muslim tidak sah jika tidak membaca surat al-Fatihah (Lâ sholâta
liman lam yaqra’ bi-fâtihatil Kitâbi). Dalam kesempatan lain, Nabi Saw
juga menyatakan bahwa al-Fatihah merupakan induk al-Qur’an (Ummul-Qur’ân).
Masih banyak lagi maqôlah atau dedhawuhan Nabi Muhammad Saw
yang, intinya, menegaskan kelebihan surat al-Fatihah dibanding surat-surat lain
dalam al-Qur’an.
***
Mengapa surat
al-Fatihah begitu urgen dan exclusive? Jika ditinjau dari sisi contains, materi
yang dibicarakan — atau tepatnya dinasehatkan — dalam surat al-Fatihah ternyata
sangatlah penting, khususnya bagi proses rekonstruksi teologi kaum muslimin
atau bahkan manusia keseluruhannya. Berikut ini sedikit keterangan materi surat
al-Fatihah dari ayat per ayat.
[1] Bismillâhirrahmânirrahîm.
“Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Ayat pertama ini
menegaskan pentingnya penyebutan atau tepatnya pengakuan manusia atas kuasa
Tuhan, atas keesaan-Nya dan atas segala kebesarann-Nya. Manusia diajarkan — dan
diharuskan — mengakui ke-Maha Pemurah-an Tuhan dan ke-Maha Penyayang-an-Nya. Di
sini, pengakuan-pengakuan itu merupakan harga mati atas setiap manusia. Jadi,
ayat ini bukan sekedar mengajarkan ‘penyebutan’ unsich atas [nama] Tuhan,
melainkan deklarasi atas kebesaran-Nya, yang pada ayat itu direpresentasikan
melalui lafadz ar-rahmân dan ar-rahîm.
[2] Alhamdulillâhi Rabbil ‘Âlamîn.
“Segala puji bagi Tuhan, [yaitu] Tuhan bagi semesta alam”.
Setelah manusia
mengakui segala kebesaran Tuhan, maka pada ayat kedua ini Tuhan melalui surat
al-Fatihah menasehatkan manusia supaya melakukan pendekatan pribadi kepada-Nya,
yaitu dengan cara memuji-Nya. Ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan
manusia setelah ia menegaskan pengakuan tadi. Sebenarnya, kebesaran Tuhan
tidaklah berkurang tanpa pujian manusia dan segenap makhluk, dan kebesaran-Nya
pun tidak pula bertambah dengan adanya pujian-pujian itu. Dengan demikian, ayat
ini sebenarnya lebih menekankan kepada pengajaran [at-Ta’lîm] dan
pendidikan [at-Tarbiyah]
kepada manusia bagaimana dia berkomunikasi dengan Tuhan yang telah dikenalnya
tadi.
Pujian kepada
Tuhan bukan tanpa sebab. Ia adalah pujian atas seluruh kenikmatan yang telah
diterima manusia. Kenikmatan terbesar dari Tuhan kepada manusia, pada titik
ini, adalah kenikmatan berupa pengetahuan manusia atas Tuhannya. Ia bukan
kenikmatan dalam arti sempit seperti limpahan rezeki material dan semacamnya.
Pada saat seorang hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw,
maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan hamida-nî ‘abdî, hambaku telah
memujiku. Masih menurut Nabi Muhammad Saw, pada saat hamba mengucapkan ayat
ini, maka itu berarti hamba tersebut bersyukur kepada Tuhan, sehingga Tuhan pun
akan menambahi rezeki.
[3] Arrahmânirrahîm. “[Tuhan]
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Pengulangan
pujian ini untuk sebuah penegasan. Ar-Rahmân bermakna [Tuhan] yang Maha Pemurah,
atau Pengasih. Dia mengasihi seluruh makhluk yang ada di dunia, baik yang
beriman atau yang bukan. Sedangkan ar-Rahîm bermakna mengasihi seluruh
orang-orang yang beriman kelak di akhirat.
Pada saat seorang
hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt
mengikutinya dengan ucapan atsnâ
‘alayya ‘abdî, hambaku telah memuji kepadaku.
[4] Mâliki Yawmiddîn. “[Tuhan]
Yang menguasai hari kiamat”.
Pengakuan
sekaligus juga pujian, bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa pada hari kiamat. Ini
merupakan pujian ketiga berturut-turut, dan begitulah pendidikan dari Tuhan
kepada manusia.
Pada saat seorang
hamba membaca ayat ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah Swt
mengikutinya dengan ucapan majida-nî
‘abdî, hambaku telah memujiku.
[5] Iyyâka Na’budu… “Hanya
Engkaulah yang kami sembah”…
Setelah Tuhan
mengajarkan manusia untuk melakukan pendekatan dengan memuji-Nya, maka pada
ayat kelima ini Tuhan memberikan pendidikan baru : yaitu, setelah manusia
melakukan puja dan puji kepada Tuhan, manusia meneguhkan diri dengan melakukan
deklarasi untuk secara konsisten menyembah kepada-Nya.
Pada ayat di
atas, Tuhan menggunakan kalimat Iyyâka
Na’budu, yang berarti Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan bukan kalimat Na’budu-Ka, yang berarti Kami
menyembah kepada-Mu. Pada kalimat pertama secara jelas menegasikan seluruh hal
dan hanya menyembah Tuhan, sedangkan kalimat kedua bisa bermakna Kami menyembah
kepada-Mu, tapi juga mengagungkan yang lain.
[5] wa Iyyâka Nasta’în. “…dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”.
Setelah mengajari
manusia tentang metode pendekatan terhadap Tuhan, beberapa pujian serta
penegasan tentang sesembahan, barulah Tuhan mengajarkan bahwa setelah manusia
melakukan hal itu semua, maka manusia diberi “kesempatan” untuk meminta
pertolongan dan perlindungan. Dan pertolongan serta permintaan itu dilakukan
manusia hanya ditujukan kepada Tuhan, bukan yang lain. Maka tepatlah kalau
Tuhan menggunakan kalimat wa
Iyyâka Nasta’în, yang berarti dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan.
Pada saat seorang
hamba membaca ayat kelima ini, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, maka Allah
Swt mengikutinya dengan ucapan hadza
baynî wa bayna ‘abdî, wa li-‘abdî mâ sa-ala, ini adalah [urusan] antara
Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku, [kuberikan] apapun yang dia minta.
Sampai pada ayat
ini, kita sebenarnya sudah bisa menangkap sebagian falsafah dari surat
al-Fatihah. Ringkasnya, hingga ayat ke 5 ini, adalah sebagai berikut :
[i] manusia
hendaklah mengenal Tuhannya, dan menjadikan Tuhannya sebagai satu-satunya
elemen penting dalam melakukan sesuatu.
[ii] manusia
hendaklah melakukan pujian-pujian terhadap Tuhannya. Ia tentu bukan bermakna
sekedar pujian secara oral, melainkan meliputi juga pengakuan penuh dari lubuk
qalbu manusia atas segala kebesaran dan keagungan Tuhan. Pujian-pujian itu
merupakan alat untuk melakukan pendekatan-pendekatan.
[iii] setelah
melakukan pujian-pujian, manusia meneguhkan diri bahwa kepada Tuhan-lah ia
menyembah, dan sama sekali tidak melakukan sesembahan atau pengagungan kepada
yang lain.
[iv] setelah
mengenal Tuhannya, melakukan pujian dan pendekatan-pendekatan, serta peneguhan
ketuhanan sang Tuhan, maka manusia menyatakan diri bahwa hanya kepada-Nya pula
para manusia melakukan permintaan dan pertolongan.
[6] Ihdinas-Shirâthal Mustaqîm.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”,
Pengajaran Tuhan
selanjutnya ; manusia tidak bisa berbuat sombong, oleh karenanya ia diajarkan
untuk selalu memohon dan meminta, yang dalam hal ini adalah permintaan untuk
sebuah kebenaran. Dan hanya kepada Tuhan sajalah manusia itu memohon kebenaran.
Makna kebenaran atau jalan yang lurus di sini tentulah tidak sederhana, namun
ia disimplifikasi pada ayat berikutnya.
[7] Shirâthalladzîna An’amta
‘Alayhim Ghoyril-Maghdhûbi ‘Alayhim walâdh-Dhôllîn. “(yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.
Kenikmatan Tuhan
hanyalah diberikan kepada orang-orang yang Dia kehendaki, dan itu bukanlah
kepada orang-orang yang dimurkai dan yang memilih jalan sendiri. Abdullah ibn
Abbas menyebutkan bahwa orang-orang yang telah dianugerahi kenikmatan oleh
Tuhan, di antaranya, adalah para nabi, shodiqin, syuhada dan orang-orang yang
saleh, orang yang bersih jiwanya.
Pada saat seorang
hamba membaca ayat keenam dan ketujuh, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw,
maka Allah Swt mengikutinya dengan ucapan — sama dengan pada ayat kelima — hadza baynî wa bayna ‘abdî, wa
li-‘abdî mâ sa-ala, ini adalah [urusan] antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi
hamba-Ku, [kuberikan] apapun yang dia minta.
***
Keutamaan
Surat Al-Fatihah
Pertama:
Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang
lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa
yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya
pincang (khidaaj).” (HR.
Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits
sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para
sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di
dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al
Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id
Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah
kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar
dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku.
Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda
tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al
Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil
‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering
diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan
kepadaku.” (HR. Bukhari,
dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan
Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna
bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه
مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari
godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari
kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan
agama maupun duniaku.” Syaitan
selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka
jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan
Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di
dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi
kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu
yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian
tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang
ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab
itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah
kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan
senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan.
Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik
sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي
وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan
jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan
bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang
beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar
memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari
golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam
ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan
demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa)
syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada
sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani
Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna
bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku
memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama
Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan
amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia,
yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu
Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah
satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut
dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara
sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki
kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu.
Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba
yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah
orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan
mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa
dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang
sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan
Kandungan Surat
Makna
Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ
رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah
Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu
adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena
perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia
atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang
sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah
sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya
kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan
ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan
pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam
bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada
mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah
bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang
jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan
pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga
memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan
mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan
menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka
dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka
berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita
mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin
karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur,
pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang
ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta
kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya.
Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang
mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna
Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ
الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana
diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang
terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah
nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah
mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam
mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3
golongan yaitu: (1) Musyabbihah,
(2)Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat
Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama
dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam
tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama
atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga
terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka
mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani
dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan
tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak
nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya
dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia
hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang
artinya,
“Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al
Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal
Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha
Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah
tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama
akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna
sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat
makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri
makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu
sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang
tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya
telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak
mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat
yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah
ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai
diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah
(kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih
sayang makhluk.
Makna
Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari
pembalasan.”
Maalik adalah zat
yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan
melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak
untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang
berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya
menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atauMalik (dengan memendekkan mim). Maalik
maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan
karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik
maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak
dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh
makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan
hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang
dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal
Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun
rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan
kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya.
Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat
khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena
itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah
adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa
atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau
hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna
Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami
beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami
hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di
dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya
adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek
kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan
pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh
menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu
dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa
perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi.
Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan
larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan
diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti
Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas
cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta
pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka
isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah.
Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah
disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun
berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu
merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia
adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak
ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah
hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua
perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahalisti’anah itu juga bagian dari ibadah
maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah
ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak
mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara
yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa
tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna
Ayat Kelima
اهدِنَــــا
الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang
lurus.”
Maknanya:
“Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti
shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang
terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai
kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal
mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya
Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di
atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya
bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya.
Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan
mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan
salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan
manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib
memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak
lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat
Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna
Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang
Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan
bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar,
para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam
cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah
keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja
yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga
mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan
meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan
mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam
yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi
perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita
kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah
nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita
pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut
Tafaasir, hal. 12).
Makna
Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ
عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang
dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang
dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau
mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang
yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan
dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya.
Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya
menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk
menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat
Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan
Isi Surat
Surat yang
demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak
terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran.
Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah.Tauhid
rububiyah adalah mengesakan
Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan
lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka
na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk
beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal
nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka
kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan
sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani
ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana
adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat
ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim.
Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada
bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya
amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena
pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik
kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan,
karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat
ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan
terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini
oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan
bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba
tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum
Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash
shirathal mustaqiim itu
terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli
bid’ah dan penganut ajaran
sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran
sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan
ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah,
semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin (disadur dari
Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar,
sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam
Al Quran.
Ya Allah,
karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan
orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi
Mengabulkan do’a. Wallahu
a’lam bish shawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar